Suara.com - Di antara kepungan apartemen Buangkok yang satu sama lain seperti bersaing adu tinggi, tak terpikirkan bakal ada sebidang tanah di tepi sungai dengan rumah-rumah sederhana.
Terdiri dari satu lantai dan beratap lembar seng. Beberapa bahkan masih berdinding kayu.
Pertanda bahwa para penghuni kampung itu hidup makmur adalah beberapa mobil lansiran baru yang diparkir di depan atau samping rumah.
Inilah Kampung Lorong Buangkok, satu-satunya desa yang dimiliki Singapura. Kerap dijuluki The Last Village in Singapore. Jangan rancu dengan kata "bangkok", namanya memang "buangkok".
Baca Juga: Neymar: 2018 Saatnya Brasil Juara Piala Dunia Lagi!
Foto: Suasana Kampung Buangkok atau Selak Kain di Singapura [Suara.com./ukirsari]
Bisa dicapai dengan naik bus atau MRT tujuan Terminal Serangoon, diteruskan semua bus yang melewati Gereja Saint Vincent de Paul. Lokasi berada di seberangnya, setelah menuruni tangga dekat sebuah pompa bensin menuju kanal yang mengalir di kawasan Sengkang.
Kampung ini hadir sekitar 1950-an ketika seorang warga Cina kaya membeli tanah kurang lebih 150 hektare. Ia menyilakan orang-orang Melayu maupun Cina yang ingin mendirikan rumah di tanah miliknya. Mereka cukup membayar sewa per bulan.
Saat itu pembangunan hunian bertingkat belum menyentuh kawasan Buangkok. Bahkan kampung ini juga punya nama alias Kampung Selak Kain. Pasalnya setiap hujan tiba dan sungai di dekatnya meluap, para penghuni mesti menyibakkan sarung atau kain mereka untuk beraktivitas.
Baca Juga: Konsumsi Vitamin C saat Sahur, Ini 5 Manfaat yang Didapat
Kini, sudah sekitar tiga generasi tumbuh di Kampung Buangkok. Sang pengusaha yang menyewakan tanah pun sudah tiada, sehingga para penghuni Kampung Lorong Buang Kok membayar sewa tanah kepada putrinya.