Suara.com - Tak terasa bulan Ramadan sudah di depan mata. Salah satu tradisi yang kerap dilakukan saat Ramadan adalah buka puasa bersama dengan menu yang beragam. Ya, orang cenderung lapar mata saat berbuka, sehingga kalap menyiapkan dan membeli banyak makanan.
Nyatanya, setelah berbuka, volume lambung justru tak kuat menampung banyak makanan. Akibatnya banyak makanan yang terbuang. Hal ini diperkuat oleh hasil survei yang dilansir Dinas Kebersihan DKI Jakarta pada 2016 yang menyebut adanya peningkatan volume sampah sebesar 10 persen saat 10 hari pertama Ramadan, dan semua itu didominasi oleh sampah makanan.
Disampaikan Assistant Brand Manager Mylanta, Dinda Parameswari, selain menyebabkan peningkatan volume sampah, makan berlebihan saat berbuka puasa juga dapat memicu gangguan cerna yang biasanya ditandai dengan rasa begah dan tidak nyaman di perut.
"Untuk itulah kami meluncurkan kampanye "Makan Bijak" dengan harapan masyarakat bisa makan dengan bijak, yang tak hanya baik untuk lingkungan tapi juga untuk kesehatan lambung," ujar Dinda pada temu media Jakarta, Selasa (15/5/2018).
Baca Juga: Menkominfo: Ribuan Akun Ditutup Terkait Terorisme
Dalam kesempatan yang sama, Arief Daryanto, Ph.D. selaku Direktur dan Peneliti bidang ekonomi agribisnis IPB, melansir data yang dihimpun Barilla Center 2017, bahwa Indonesia menempati posisi kedua negara dengan makanan terbuang yang paling banyak dari 35 negara, yakni sebesar 300 kilogram per orang per tahun. Sementara posisi pertama ditempati Arab Saudi sebesar 427 kilogram makanan terbuang per orang per tahun, dan Amerika Serikat sebanyak 277 kilogram.
"Dampaknya multidimensi dari banyaknya sampah makanan ini, meliputi aspek ekonomi, kesehatan, energi," tambah dia.
Untuk mencegah jumlah makanan sisa yang terbuang, Annisa Paramita selaku Operations Manager Waste4change mengimbau masyarakat untuk berbelanja secara bijak, mengonsumsi makanan secara bijak, dan tahu porsi yang mampu dimakan, serta periksa secara berkala makanan di kulkas.
"Penumpukan sampah makanan di TPA berpotensi menimbulkan gas metana yang berkontribusi pada pemanasan global. Hal ini memicu krisis pangan yang berdampak pada keberlanjutan pangan," tandas dia.