Berjuang Bersama Komunitas PETA Dampingi Pasien TBC

Sabtu, 31 Maret 2018 | 10:46 WIB
Berjuang Bersama Komunitas  PETA Dampingi Pasien TBC
Komunitas PETA kumpulannya pejuang tanggung yang pasien TBC. (Suara.com/Firsta Nodia)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Penderita tuberkulosis (TBC) masih mendapat stigma negatif di Indonesia, yaitu dianggap sebagai penyakit kutukan yang memalukan, inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa Komunitas PETA didirikan.

Kita tahu banyak pengidap TBC sering bersembunyi dan enggan menjalani pengobatan, karena malu mendapat stigma netaif tersebut. Padahal, mereka dapat menjadi sumber penularan bagi orang terdekatnya. Pun pada penderita TBC yang mendapatkan pengobatan, tapi tak teratur, berisiko mengalami resistensi sehingga mengidap TBC MDR.

Nah, mantan penderita TBC, almarhum Zaini Edi  yang merupakan salah satu pendiri Komunitas PETA menyadari betul pentingnya pengobatan teratur untuk mengobati penyakit yang disebabkan kuman mycobacterium tuberkulosis ini. Usai dinyatakan sembuh, ia memutuskan untuk mendirikan organisasi pejuang tangguh yang disingkat PETA, pada 2012.

"Awalnya Pak Zaini niatnya hanya iseng. Dia terpikir kalau sudah sembuh apa yang bisa dilakukan untuk pasien, dan diputuskan bikin paguyuban kecil bersama lima orang lainnya termasuk saya," ujar Yulinda salah satu pendiri Komunitas Pejuang Tangguh pada Suara.com, Jumat (30/3/2018).

Baca Juga: Alasan Perempuan Suka Lelaki Lebih Muda

Yulinda, salah satu pendiri Komunitas PETA. (Suara.com/Firsta Nodia)

Gayung pun bersambut, niat untuk mendampingi pasien TBC MDR pun mendapat dukungan dari KNCV Tuberculosis Foundation (KNCV) yakni organisasi nirlaba internasional yang secara khusus berfokus pada pengentasan tuberkulosis (TB) di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Para pendiri Komunitas PETA ini pun mendapat pelatihan sebagai expert patient trainer. Mereka dilatih untuk memberikan dukungan psiko-sosial pada pasien TB MDR di RSUP Persahabatan baik secara individu maupun kelompok .

Sayangnya, Zaini harus mendahului rekan-rekan pendiri PETA lainnya. Ia meninggal karena terinfeksi TB HDR pada 2013 yang lebih kompleks pengobatannya dari TB MDR.

Kunjungan ke Rumah Sakit Setiap Hari
Yulinda dan keempat pendiri lainnya pun berniat untuk mengukuhkan paguyuban kecilnya sebagai organisasi. Mereka membentuk Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga hingga akhirnya kini tersebar di Jakarta, Bogor, Bekasi, Tanggerang.

Baca Juga: Jalani Operasi Katarak, Begini Kondisi Terkini Nyak Sandang

"Sekarang kita ada di 4 rumah sakit besar infeksi dengan total anggota 40 orang," tambah Yulinda.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI