Suara.com - Masyarakat Jawa sudah sejak lama mengenal berbagai minuman kesehatan, yang terdiri dari berbagai rempah, dengan campuran gula yang disebut sebagai wedang. Salah satunya adalah wedang uwuh.
Ya, keberadaan wedang yang berasal dari Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta ini, bahkan sudah cukup populer, tidak hanya di sekitaran tanah asalnya, tapi juga hingga ke daerah lain seperti Ibukota, bahkan mancanegara.
Hal ini, tak lepas dari tangan dingin seorang Retnosyari Septiyani, perempuan asal Bantul yang sejak 2008 silam sudah menekuni bisnis minuman tradisional tersebut. Mengawali kisahnya, Retno yang ditemui Suara.com beberapa waktu lalu di Jakarta mengungkap, sudah sejak lama dirinya memiliki keinginan untuk mengangkat pangan lokal. Cita-cita menduniakan wedang uwuh bahkan sudah ada di benaknya saat masih kuliah.
Alasan saat itu, kata dia lebih pada idealismenya mengangkat pangan lokal agar setara dengan minuman-minuman kemasan yang saat ini merajai pasar. Apalagi, kata dia, wedang uwuh, yang berarti wedang sampah dalam bahasa Jawa ini, memiliki keunikan sehingga harus dimanfaatkan agar memiliki nilai yang lebih tinggi.
Wedang uwuh sendiri konon adalah minuman raja Mataram yang pertama kali dibuat saat Raja Sultan Agung bersemedi di wilayah makam Imogiri saat ini.
"Kita tahu, Indonesia kaya sekali dengan bahan baku lokal, tapi sayang, pemanfaatannya masih belum tinggi. Jadi, saya berpikir, bagaimana kita bisa memanfaatkan produk lokal menjadi lebih tinggi nilainya, alami dan kaya manfaat. Ini yang tidak dimiliki oleh bangsa lain," ungkap perempuan Lulusan Faktultas Teknologi Pangan Universitas Gajah Mada (UGM) ini.
Dari situlah, lanjut dia, dirinya mulai berinovasi dengan melakukan berbagai riset, khusunya dalam mengemas wedang uwuh menjadi pangan siap minum yang bisa awet selama berbulan-bulan.
Perempuan ini membayangkan, bahwa minuman tradisional tersebut bisa menjadi seperti minuman kemasan cup atau botol yang biasa dijual di lemari pendingin di toko-toko modern dan toko klontong.
"Jadi, waktu dari awal kita buat itu masih berupa plastik berisi kayu manis, daun pala, secang, cengkeh dan gula batu. Kita jual seperti curah, makanya namanya uwuh atau sampah, karena memang mirip seperti sampah," jelasnya.
Selanjutnya, kata dia, kemasan pun berkembang menjadi lebih modern mengikuti permintaan pasar. Mulai dari yang mirip seperti teh celup, teh tubruk, sirup, hingga yang lebih praktis dan instan, yakni wedang uwuh dalam kemasan sachet yang awet hingga tahunan lamanya.