Suara.com - Duta kesenian perwakilan dari Kabupaten Jembrana mendapat penolakan untuk menampilkan tari Joged Bumbung dalam acara Pesona Indonesia yang akan diselenggarakan di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, pada Oktober 2018.
"Rencananya, kami ada pementasan di TMII pada minggu kedua di bulan Oktober mendatang. Tetapi proposal pementasan sudah harus dibuat setahun sebelumnya. Nah, ketika itu kami mencantumkan salah satu repertoar yang kami pentaskan salah satunya Joged. Alat musik Jegog biasa pada bagian akhir pementasan biasanya diisi dengan Joged," kata Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata Kabupaten Jembrana I Putu N Sutardi, di Negara, Jembrana.
Alasan penolakan, ucap Sutardi karena Joged Bumbung dipandang sebagai tarian seksual yang mengarah ke pornoaksi. Padahal pihaknya ingin menunjukkan bagaimana Joged sebenarnya sebagai tari pergaulan yang adiluhung.
"Namun, tayangan di YouTube telanjur membentuk stigma buruk di mata panitia dan juga beberapa duta besar yang dirancanakan datang pada kegiatan itu," ujarnya pada acara pembinaan dan pemantauan Joged Bumbung oleh tim dari Dinas Kebudayaan Provinsi Bali tersebut.
Baca Juga: Ini Dia Pemenang "Wajah Pesona Indonesia"
Alhasil, pihaknya mencari repertoar yang lain untuk dipentaskan, yakni fragmentari berjudul "Petung Agung" yang mencoba mengangkat keagungan bambu.
"Saat persiapan teknis, langsung ditolak. Pokoknya Joged, No! Karena tayangan di YouTube itu dah. Bahkan, beberapa duta besar yang menyatakan akan hadir di acara itu katanya menolak untuk datang jika Joged tetap dipentaskan. Ini artinya sangat luas sudah mempengaruhi secara umum tentang image kebudayaan kita," ucapnya.
Padahal, menurut Sutardi, para penari Joged dan sekaa (sanggar) joged di Jembrana sampai saat ini belum ada yang yang menampilkan Joged jaruh (joged dengan gerakan yang seronok atau porno). Memang diakui, ada beberapa informasi tentang pentas tari Joged jaruh di Jembrana, namun penari tersebut bukan asli dari Jembrana.
"Yang aktif sampai sekarang ada 15 sekaa, namun dalam data kami ada lebih dari 40 sekaa. Sedangkan penari joged ada 18 orang. Pembinaan-pembinaan yang sudah kita lakukan, seperti pembinaan seperti event PKB, Bali Mandara Mahalango, lomba Joged yang tahun 2017 dapat juara 1. Selain itu, pada perayaan HUT Kota kita kembangan menjadi Joged-joged inovatif," ujarnya.
Di sisi lain, menurut perwakilan MUDP Provinsi Bali Prof Dr I Wayan Suarjaya, Joged jaruh tak ubahnya seperti virus kanker. Kanker jika tidak diobati maka akan membahayakan diri sendiri.
Baca Juga: NTT Juara Umum "Pesona Indonesia 2016"
Maka dari itu, pihaknya menekankan yang harus dilakukan oleh masyarakat adalah stop penyebaran video dan melaporkan konten yang tidak pantas. Sedangkan peran bendesa (pimpinan desa adat) diharapkan sebagai "benteng" dalam menjaga kebudayaan Bali.
"Saya minta dengan sangat bendesa untuk melarang pementasan Joged jaruh. Mari sama-sama tingkatkan kewaspadaan kita. Di Jembrana belum tercemar, saya berharap Jembrana tetap menjaga ajegnya Bali. Sebab Jembrana benteng pertama dari pengaruh luar," katanya.
Senada dengan Prof Suarjaya, budayawan Bali, Prof Dr I Wayan Dibia mengatakan, ini tidak saja hanya terjadi di tarian joged, melainkan dalam kehidupan kesenian, sudah banyak ada transfer aksi jaruh ke kesenian lain, seperti bondres dan kesenian lainnya yang umumnya menggunakan peran liku.
"Ini tidak kalah serunya bisa mencoreng warna budaya Bali, karena peran-peran itu juga melakukan aksi-aksi jaruh. Mengapa itu terjadi? Karena penari tersebut menganggap aman melakukan hal itu karena dirinya lelaki. Namun sesungguhnya di mata publik mereka memerankan tokoh perempuan. Ini juga harus kita waspadai bersama," katanya. [Antara]