Suara.com - Genap seminggu pascaseremoni peresmian, Museum Gedung Sate telah dikunjungi lebih dari 3.600 orang, yang tercatat oleh pengelola dengan berbagai latar belakang dan rentang umur. Museum yang terletak di sayap timur basement Gedung Sate, Kota Bandung ini, menyedot perhatian dan antusiasme masyarakat Jawa Barat, hingga rekor kunjungan menembus angka 1.200 orang dalam satu hari.
Tour conductor Museum Gedung Sate, Hary Juliman, mengatakan, museum yang memiliki luas 500 meter persegi ini mendapatkan sambutan yang luar biasa dari masyarakat.
“Komentar dari mereka juga tak terduga, karena museum ini dianggap memberikan nuansa yang berbeda. Mereka heran sekaligus takjub pada kebersihan, kenyamanan, kecanggihan teknologi yang memberikan informasi yang banyak walaupun dengan ruangan yang hanya seluas ini,” katanya, ketika ditemui di Ruang Perpustakaan Museum Gedung Sate, Kota Bandung, Jumat (15/12/17)
Dalam seminggu ini, diakui Hary, banyak pelajaran (edukasi) dan catatan berharga bagi para pengelola museum.
“Ternyata anak-anak sangat menyukai ruang audio visual, augmented reality, bahkan ada beberapa anak yang dengan terpaksa harus diseret orang tuanya keluar, karena mereka merasa terlibat dengan visualisasi. Ini di luar dugaan dan prediksi, karena awalnya bahkan tidak didesain untuk ramah anak,” katanya.
Museum ini membahas soal arsitektur Gedung Sate (sebagai gedung terindah di dunia) dan sejarah yang menyertainya. Gedung ini memiliki tiga segmen, pertama, prolog; kedua, eksplorasi; dan ketiga, kontemplasi.
Walaupun bertema sejarah, pengunjung akan merasakan sensasi teknologi digital yang interaktif saat menggali informasi dari museum ini. Teknologi seperti layar sentuh yang menyajikan informasi melalui grafis dinilai menjadi daya tarik atraksi Museum Gedung Sate.
Pengunjung juga dapat mencoba kacamata virtual reality yang membuat pengunjung seolah-olah menaiki balon udara mengelilingi area sekitar Gedung Sate. Ada juga ruangan yang membuat pengunjung seolah-olah terlibat pada pengerjaan Gedung Sate, dengan teknologi augmented reality.
Ada juga beberapa display yang mengupas desain pilar, kusen, tangga, hingga ke sudut-sudut eksterior dan interior Gedung Sate. Bahkan ada tembok yang sengaja dikelupas untuk mengetahui struktur dan dan material penyusunnya.
“Kemarin ada tamu rombongan inspektorat. Mereka takjub juga karena tidak ada bata, hanya batu dan pasir saja ya? Lalu mereka berkomentar 'begini ya ternyata meski hanya batu dan pasir, kalau kerjanya bener, ngga dikorupsi, bertahan tuh sampe selama ini',” cerita Hary.
Menurutnya, Museum Gedung Sate memberikan pengetahuan-pengetahuan baru yang mampu membuka wawasan dan memberikan pelajaran sesuai dengan latar belakang bidang masing-masing.
Museum ini menceritakan dirinya, kata Hary, dan memberikan keleluasaan bagi semua untuk penggalian informasi melalui audio visual, gambar-gambar, maket. Gedung ini juga memberikan pemahaman sesuai dengan kebutuhan pengunjung yang sangat heterogen, pribadi maupun rombungan, dari usia TK hingga pensiunan, juga menimbulkan proximity (kedekatan) dengan Gedung Sate, yang ujungnya diharapkan timbul rasa memiliki dan ingin memelihara.
Hary juga menemukan beberapa pengunjung yang hingga berkali-kali datang berkunjung.
Yang menyenangkan pengelola, menurut Hary, setiap sudut museum menjadi pojok selfie. Itu artinya, interior yang disajikan oleh Museum Gedung Sate sepenuhnya dapat diterima dan disukai oleh pengunjung.
“Yang tak terduga adalah diorama figur dari Gubernur Ahmad Heryawan dan Wagub, Deddy Mizwar, justru menjadi spot favorit pengunjung untuk berfoto. Sering macet di sekitar itu. Mungkin mereka yang di luar daerah, diam-diam punya keinginan tinggi juga untuk berfoto dengan pemimpin daerah mereka tapi kesempatannya langka. Saya nggak tau juga haha,” katanya.
“Atau bisa jadi berfoto dengan (figure) gubernur dan wagub adalah salah satu yang bisa mereka bawa pulang dan diperlihatkan. Kalau virtual reality kan sifatnya lebih ke personal experience,” tambahnya.
Hary mengakui, ada beberapa evaluasi yang harus segera mungkin ditanggulangi, seperti ketika antrean membludak, sehingga diperlukan fasilitas tunggu yang memadai, seperti kursi, peneduh hingga toilet. Ini menjadi penting, karena pihak pengelola ingin kenyamanan dan informasi mengenai Gedung Sate dapat dengan baik diterima pengunjung.
Ini juga yang menjadi dasar pengaturan satu rombongan masuk, hanya 35-50 orang, dengan durasi berkisar 10-15 menit.
Museum Gedung Sate, yang mendapatkan apresiasi dari semua pengunjung ini tetap memiliki sisi yang meminta pemakluman dari masyarakat, terutama terkait peralatan teknologi. Jika digunakan tanpa jeda, peralatan berteknologi digital ini akan memperpendek umurnya.
Untuk itu menurut Hary, masyarakat perlu tahu dan maklum jika sebulan sekali, selain Senin dan hari libur nasional, Museum Gedung Sate tutup untuk kalibrasi dalam rangka maintenance/pemeliharaan.
“Peralatan-peralatan semacam augmented reality, virtual reality, interactive floor, secara berkala perlu kita setting ulang agar sensor tetap presisi dan tepat timing-nya,” jelas Hary.
Ke depan, pengelola museum juga mempertimbangkan untuk menyediakan tour conductor yang menguasai bahasa asing selain Inggris, mungkin Belanda, Tiongkok, dsb.
“Selain itu juga, kami mulai memikirkan beberapa sarana yang ramah untuk penyandang disabilitas,” tambahnya.