Suara.com - Tidak seperti kecanduan yang melibatkan penyalahgunaan narkoba atau perilaku lain seperti alkohol atau judi, kecanduan seks jauh lebih kompleks.
Orang mencari seks karena mereka terangsang (Meskipun dorongan seks hiper yang aktif bisa memainkan peran dalam mengembangkan kecanduan), dilakukan untuk menghindari sesuatu yang lain. Perilaku menjadi kecanduan penuh ketika menyebabkan masalah bagi orang itu sendiri, dan semua upaya untuk menghentikannya gagal.
Ilmuwan masih membagi atas apakah kecanduan seks benar-benar merupakan kelainan klinis, dan jika memang demikian, bagaimana bisa dikenali dan diobati secara akurat.
Kasus selebriti yang tidak setia dan melakukan pelecehan serta kecanduan seks, menimbulkan keraguantentang kondisi tersebut. Setelah Harvey Weinstein dan Kevin Spacey, keduanya memeriksa diri mereka ke pusat rehabilitasi, menentang gagasan bahwa seks atau pornografi dapat menjadi adiktif.
Namun, Michael Walton, peneliti di University of New England di NSW mengatakan, "Sebuah kelompok kecil bisa menjadi kecanduan".
Walton dan psikolog di UNE dan Center for Addiction and Mental Health di Toronto memperkirakan sekitar tiga hingga enam persen populasi dapat mengalami "hypersexual". Bagi orang lain, mungkin ada faktor yang lebih kompleks.
Kecanduan seks seperti kokain
"(Film) Porno itu seperti kokain. Saya merasa kecanduan dan saya tidak bisa berhenti," kata lelaki berusia 19 tahun yang menghabiskan 14 jam setiap minggu untuk melakukan masturbasi dan menonton film porno.
Walton mengatakan, orang-orang yang berjuang untuk mengendalikan perilaku seksual mereka mengalami tekanan emosional yang cukup besar. Namun, tingkat aktivitas seksual mereka mungkin berbeda-beda.
"Salah satu studi kasus saya telah menikah, tapi terlibat dalam dengan open married dengan suami mereka," kata Walton, yang telah mensurvei lebih dari 1.500 orang selama beberapa tahun.
"Mereka akan tidur dengan banyak orang, sampai 20 di akhir pekan, dan mereka kebanyakan baik-baik saja, kadang-kadang hanya ada beberapa yang gelisah atau merasa kelelahan. Ada juga yang menonton cukup banyak film porno dan bermasturbasi," jelasnya.
Kecanduan tidak harus tentang jumlah spesifik jenis kelamin atau orang yang bermasturbasi, ini tentang perilaku mereka menyebabkan mereka cemas. Mereka yang kecanduan seks dapat terisolasi secara sosial, mengabaikan perilaku sehat seperti berolahraga dan mengalami masalah fisik langsung seperti infeksi atau trauma penis.
"Banyak orang memiliki masalah psikologis dimana hiperseksualitas bisa menjadi gejala. Dengan gangguan hypersexual, jumlahnya mungkin jauh lebih rendah," imbuhnya.
"Itu bisa menjadi gejala. Bagi banyak orang, bisa jadi tentang kepuasan seksual, hubungan mereka, monogami. Ada sekelompok orang dengan depresi dan kecemasan klinis - apakah mood rendah yang mendorongnya?" sambungnya.
Hiperseksualitas telah diidentifikasi sebagai gejala gangguan kepribadian borderline, bipolar, kondisi neurologis seperti Parkinson, penyalahgunaan obat-obatan terlarang atau alkohol dan, dalam sejumlah kasus, efek samping obat yang diresepkan.
Mengeluarkan banyak uang untuk mengobatinya
Penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa individu hiperseksual (terutama pria) memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk hasrat seksual atau gairah dibandingkan dengan populasi umum.
"Banyak orang tidak tahu apa emosi atau perasaan mereka saat terangsang," kata Walton.
Sementara sebagian besar penelitian sejauh ini bergantung pada persepsi, dan masalahnya diperumit oleh selebriti yang pergi ke "klinik sangat mahal". Walton mengatakan,yang kami ketahui adalah beberapa orang menampilkan perilaku seksual bermasalah.
"Di mana benar-benar menjadi masalah adalah seputar pengambilan risiko seksual, terutama jika dikombinasikan dengan obat-obatan terlarang. Anda mendapatkan seks yang tidak aman, HIV, kombinasi perilaku seksual berisiko dengan eksitasi tinggi," ujar dia.
Lebih lanjut, dia memaparkan, orang sering mengelola sendiri masalah psikologis, termasuk masalah hubungan dan meskipun keadaan gairah seksual yang tinggi dapat berdampak negatif pada pemrosesan kognitif, para periset tidak menganggap bahwa perilaku seksual individu secara substansial berada di luar kendali diri seseorang.
"Salah satu masalah dengan model kecanduan seks adalah, bagaimana pengadilan akan menafsirkannya? Apa tingkat kontrolnya? Kelainan ini berpotensi menimbulkan implikasi yang sangat serius di pengadilan," tandasnya. (News.com.au)