Suara.com - Setiap hari masyarakat selalu disuguhkan berita diskriminasi berbau suku, ras, agama dan antar golongan alias SARA yang terjadi di sudut kampung, kota besar, hingga negara-negara Adidaya.
Isu SARA memang tidak mengenal tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi. Siapa saja yang mudah merasa terganggu dengan perbedaan, akan merasa risih dan memakan mentah-mentah informasi palsu mengenai suku, agama, ras, dan golongan yang berbeda dengannya.
Terlebih di era media sosial saat ini, masyarakat Indonesia terkesan telah terpolarisasi besar-besar. Caci maki berbau SARA kerap dilontarkan di kolom komentar berita atau unggahan di sosial media.
Tujuannya satu, membuat Bangsa Indonesia terpecah belah. Beruntung masih ada pemuda-pemudi yang sadar bahwa keberagaman adalah anugrah.
Mereka adalah anak muda yang terkumpul dalam Komunitas Pemuda Pemudi Berkarya Bagi Negeri yang disingkat Pemberani. Komunitas ini adalah komunitas kecil yang ingin membuat perubahan besar lewat sudut pandang keberagaman.
Diprakarsai oleh Merli Pelagia, Meitrisya Aprodite, Fawwaz Ibrahim, Gilang Kusuma Achmadi, Zaidi, dan Rosi Anindiastuti, bersama-sama membuat kegiatan penghormatan kepada para penganut agama dan penghayat kepercayaan di Indonesia.
Mereka memiliki latar belakang yang berbeda-beda mulai dari penganut Kristen Katolik, Muslim Nahdiyin hingga Muslim Ahmadiyah.
"Komunitas ini masih belum jelas secara struktur. Karena kami sebenarnya hanya orang-orang yang modal nekat," kata salah satu anggota inti Komunitas Pemberani, Aprodite, saat dihubungi Suara.com.
Keenam sosok di balik Komunitas Pemberani juga merupakan anak-anak kuliahan yang aktif mengikuti acara-acara lintas agama yang dilakukan oleh lembaga pemerintah, swasta, atau orang berpengaruh.
Pada satu titik, Aprodite merasa bila anak muda penggiat isu keberagaman hanya menjadi perwakilan atau utusan tanpa bisa memberikan kontribusi lebih.
"Kami merasa bahwa isu toleransi masih bersifat elitis. Padahal seharusnya berakar ke masyarakat secara umum," tambahnya.
Untuk itu, keenam dari mereka berembuk sejak Agustus lalu sambil berbagi pandangan tentang kegiatan apa yang bisa mereka lakukan.
Hingga kemudian muncul ide membuat kegiatan kunjungan kelima tempat ibadah berkonsep tur dan piknik.
Bertajuk Tourlerance of Worship Place, agenda besar pertama komunitas ini dihelat untuk merayakan Hari Toleransi Internasional pada 19 Nopember 2017.
Kegiatan ini dikemas dalam bentuk kunjungan ke rumah-rumah ibadah di sekitar DKI Jakarta dengan tujuan menjalin silahturahmi, memperkenalkan keragaman agama yang berkembang di Indonesia dan membangun interaksi lintas iman.
Respon masyarakat pada kegiatan ini ternyata luar biasa. Ada 114 pendaftar yang memperebutkan 50 kuota terpilih kegiatan Tourlerance of Worship Place.
Sebanyak 50 pemuda terpilih kemudian mengunjungi lima rumah ibadah yakni Klenteng Kong Miao di TMII, Pura Aditya Jaya di Rawamangun, Vihara Ekayana Arama di Tanjung Duren, Masjid Al-Hidayah di Petojo dan Masjid Istiqlal.
"Sebenarnya ada satu lagi rumah ibadah yang kami kunjungi yakni Gereja Katedral, namun karena kondisi lapangan dan keterbatasan waktu, terpaksa tidak jadi," kata Ketua Pelaksana agenda Tourlerance of Worship Place Merli Pelagia.
Lewat agenda ini, penyelenggara melihat adanya harapan dan kerinduan besar dari anak-anak muda lintas iman Indonesia untuk bertemu dan menjalin persahabatan dengan sesama anak bangsa, meski dalam berbagai perbedaan.
Komunitas ini berharap, momentum baik seperti kegiatan kunjungan ke tempat ibadah bisa semakin menguatkan Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia dan sekaligus landasan untuk menjamin toleransi dan harmonisasi hidup dalam keberagaman di Indonesia.
Bila ingin mengetahui dan ikut serta dalam kegiatan Komunitas Pemberani, masyarakat bisa memantau media sosial Komunitas Pemberani di Twitter dan Instagram @kamipemberani.
Baca Juga: Begini Jadinya Bila 'Superhero' Justice League Lari Pagi