Suara.com - Batik merupakan proses, bukan motif. Begitu seperti yang diungkapkan salah seorang desainer kenamaan Tanah Air, Oscar Septianus Lawalata.
Lelaki yang akrab disapa Oscar Lawalata itu tampak semakin fokus mengembangkan, dan mengenalkan batik di kancah internasional.
Bahkan, Oscar tidak lama lagi akan membuat agenda bertajuk 'Batik For The World' di Kantor Pusat UNESCO, Paris, Perancis, Juni 2018 mendatang.
Sebelum sampai ke sana, desainer berusia 40 tahun itu membina puluhan perajin batik yang tingal di berbagai desa di Pulau Jawa. Tujuannya, mengangkat derajat batik tradisional sekaligus melakukan pemberdayaan ekonomi pada perajin batik yang mayoritas sudah berusia sepuh.
Baca Juga: Cara Oscar Lawalata Bawa Batik Mendunia
Selama berpetualang mencari perajin, Oscar mengaku banyak melihat anak muda yang tinggal atau berasal dari keluarga perajin batik memilih menjalani profesi lain, dan memandang profesi sebagai perajin batik merupakan hal yang kuno.
"Anak muda sekarang lebih memilih profesi lain seperti menjadi sales promosi girl (SPG), dan memandang profesi sebagai pembatik dan penenun itu kuno. Harus lebih ada pendekatan, salah satunya dengan (memperkenalkan) fesyen," kata Oscar.
Dengan pendekatan fesyen, kakak kandung Mario Lawalata itu menilai, akan lebih banyak pemuda daerah yang kembali mengagumi batik sebagai identitas bangsa. Oscar bahkan tak segan mengatakan mereka, anak-anak para perajin batik beruntung karena dikelilingi orang kreatif dan tak jarang memiliki kemampuan yang sama, yaitu membatik.
"Kalau sudah begitu, nanti mereka lebih semangat. Saya selalu bilang kepada mereka, saya saja yang desainer tidak bisa membatik, tapi kalian bisa. Saya juga mengatakan bahwa mereka bukan buruh kain, tapi seorang seniman. Motivasi itu mulai ditularkan agar mereka merasa bangga dengan profesi mereka," ungkapnya.
Meski begitu, Oscar mengaku, beberapa kendala yang membuat anak muda enggan mengikuti karier leluhurnya jadi pengrajin batik. Salah satunya, karena mereka tinggal jauh dari pusat fesyen dan hanya beberapa kali 'terpapar' pameran fesyen.
Baca Juga: Nafas Asia di Tangan Oscar Lawalata
Dia juga melihat beberapa perajin lama masih kesulitan melakukan padu padan warna atau sedikit melakukan perubahan mengikuti pasar.
"Kalau diminta berubah, mereka seperti berpikir apakah hasil karyanya akan laku. Itu menjadi ketakutan utama mereka ketika diminta sedikit berubah," jelasnya.
Berubah, bukan berarti beralih metode dari tulis tangan atau cap ke metode printing. Melainkan, lebih kepada padu padan warna serta motif yang lebih disesuaikan agar bisa dipakai anak muda.
"Memang tantangannya bagaimana kekhasan dari motif batik di daerah itu ada pembaharuan agar anak muda tetap mau memakai batik khas entah mengubah warna atau motif lebih sederhana," imbuhnya.
Saat situasi seperti ini, Oscar menganggap apa yang terjadi di dunia batik perlu melakukan sedikit penyesuaian untuk kebutuhan pasar. Meski begitu, Oscar juga ingin ada orang-orang yang mau mempertahankan kerumitan proses pembuatan batik yang otentik.
Ketika ditanya mengenai eksistensi batik printing, Oscar mengakui perlu adanya edukasi di masyarakat bahwa batik yang dibuat proses printing berbeda dengan batik yang dibuat lewat metode tulis atau cap.
"Karena sekali lagi, batik merupakan proses, bukan motif," imbuhnya.
Lalu, apakah Oscar menganggap batik printing telah menjadi acamanan bagi para perajin batik?
"Iya, bisa dibilang begitu," tandasnya.