Suara.com - Tempe merupakan panganan lokal yang mudah disulap menjadi berbagai menu menggoyang lidah, seperti mendoan, sambal goreng tempe, keripik tempe, sambal tempe, burger tempe, kue kering tempe, hingga brownies tempe.
Di Malang, Jawa Timur, ada sebuah desa yang mengukuhkan diri sebagai pusat pengrajin tempe, yaitu Desa Sanan. Ada sekitar 400 pengrajin yang memproduksi tempe di desa ini.
Ketua Paguyuban Pengrajin Tempe dan Keripik Tempe Sanan, Ivan Kuncoro, mengatakan setiap hari tercatat 30 ton kedelai diolah untuk menghasilkan tempe. Menurut dia, perputaran uang di desa ini hanya dari memproduksi tempe mencapai Rp1 miliar per harinya.
"Desa Sanan ada tiga RW, tapi yang dominan produksi tempe RW 15 dan RW 16. Setiap hari kita butuh 30 ton kedelai untuk memproduksi tempe," ujar Ivan di sela-sela acara Jelajah Gizi 2017 yang dihelat Nutricia Sarihusada di Desa Sanan, Malang, belum lama ini.
Baca Juga: Diet, Coba Makan Tempe Kukus
Sayang, kebutuhan kedelai yang begitu besar di desa ini baru bisa dipenuhi dengan mengimpornya. Ivan mengaku kedelai-kedelai yang digunakan para pengrajin tempe di Desa Sanan berasal dari Amerika Serikat. Harga yang lebih murah, dan ketersediaan bahan yang stabil menjadi alasan mengapa mereka memilih kedelai impor dibanding lokal.
"Produksi kedelai dari Indonesia masih kurang, padahal kebutuhan kita besar, dan ketersediaannya harus stabil. Harganya juga jauh lebih murah yang impor," ungkap Ivan.
Perbedaan harga antara kedelai impor dan lokal pun cukup lebar. Harga kedelai lokal, kata Ivan bisa mencapai Rp15.000 hingga Rp35.000 per kilogram. Sedangkan kedelai Amerika Serikat dibanderol hanya Rp6.300 per kilogram.
"Karena kita juga cari untung, jelas kita pilih yang impor. Walau dari segi rasa memang masih enakan kedelai lokal," jelasnya.
Baca Juga: Chef Bule Ini Masak Tempe, Hasilnya Nggak Biasa dan Bikin Ngiler