Suara.com - Jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 250 juta jiwa, membuat Indonesia tidak hanya dikenal sebagai negara berpenduduk keempat terbesar di dunia.
Angka tersebut rupanya juga menyumbang peringkat Indonesia selaku negara dengan angka perkawinan anak tertinggi ketujuh di planet bumi.
Berdasarkan laporan UNICEF dan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016, tercatat sekitar 1.000 anak perempuan Indonesia menikah muda setiap harinya.
Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya perkawinan dini di Indonesia seperti pendidikan, budaya dan status ekonomi.
Baca Juga: Psikolog: Nikah Muda Bisa Picu Depresi hingga Bunuh Diri
Hal ini diamini Sanita Rini, dara berusia 22 tahun asal Desa Sanetan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Dia pernah akan dijodohkan orang tuanya ketika berusia 13 tahun atau saat baru duduk di bangku kelas satu Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Calon suaminya merupakan anak tetangga di lingkungan rumahnya. Sanita pun menolak perjodohan itu dengan alasan ingin melanjutkan pendidikan.
Anak bungsu dari lima bersaudara ini mengatakan, di desanya banyak orang tua menganggap, ketika sudah duduk di bangku SMP maka anak perempuan sudah cukup umur untuk dinikahkan.
Asumsi tersebut juga bermaksud untuk mengurangi beban dan tanggung jawab yang berpindah ke suami bila anak mereka menikah.
"Saya menolak, saya punya strategi mau sekolah. Pokoknya saya mau sekolah. Dengan berat hati ibu mengakhiri perjodohan itu. Hubungan kami dengan keluarga si laki-laki pun renggang," ujar Sanita di acara diskusi "Aktif, Kreatif, dan Produktif Cerminan Generasi Muda Indonesia" di Jakarta, Kamis (28/9/2017).
Baca Juga: Lama Pacaran Tak Jamin Menikah Bahagia
Tak cukup sampai disitu, Sanita kembali dijodohkan saat duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Kala itu, dia akan disandingkan dengan anak tetangganya yang sudah lulus SMA dan bekerja sebagai supir ojek.
Dan lagi-lagi, niatan orang tuanya untuk menjodohkannya ditentang Sanita. Kali ini dengan berani, Sanita menanyakan kepada orang tuanya berapa banyak uang yang telah mereka habiskan untuk menyekolahkan Sanita.
"Kemudian saya bilang kalau misalnya saya nikah, saya punya suami, anak dan keluarga yang lain. Kalau bapak-ibu ingin ini--sesuatu--, itu saya nggak bisa menuhin karena saya punya keluarga," ujar dia.
Foto: Sanita Rini (kedua kiri) jadi salah satu pembicara pada diskusi "Aktif, Kreatif, dan Produktif Cerminan Generasi Muda Indonesia" di Jakarta, Kamis (28/9/2017). [Suara.com/Firsta Nodia]
Lalu, Sanita pun berjanji jika orang tuanya mengizinkan untuk melanjutkan sekolah, maka dia akan memberikan apapun yang diinginkan orang tuanya ketika sukses nanti.
"Kalau ibu memperbolehkan saya sekolah, saya akan memberikan apapun pada bapak-ibu ketika saya sudah selesai sekolah dan mengembalikan uang yang dikeluarkan bapak-ibu untuk menyekolahkan saya selama ini," tambah dia.
Akhirnya kedua orang tua Sanita pun luluh. Kini, Sanita baru saja menyelesaikan pendidikan sarjana di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) YPPI Rembang, jurusan manajemen sumber daya manusia.
Berhasil keluar dari jeratan perkawinan dini, Sanita ingin mengajak remaja sepertinya untuk juga berani melakukan hal yang sama.
Dia bahkan menjadi pencetus ditetapkannya peraturan desa setempat yang melarang anak menikah di bawah usia 18 tahun.
"Saya memperlihatkan contoh dampak perkawinan dini pada pemerintah desa dan masyarakat di daerah saya. Ada remaja 16 tahun yang meninggal saat hamil tujuh bulan. Ada yang sudah menikah 3 tahun punya anak lalu cerai dengan alasan tidak cocok," ujarnya.
Foto: Sanita Rini (kiri). [Suara.com/Firsta Nodia]
Dia pun menolak keputusannya menentang perjodohan yang dilakukan orang tuanya tergolong sikap durhaka. Justru, kata dia, penyampaian penolakan harus dengan cara yang sopan dan memberikan bukti buruknya dampak dari perkawinan dini.
"Saya mengatakan menolak itu bukan berarti durhaka, karena ketika melakukan penolakan saya komunikasi intensif sehingga orangtua tidak merasa bahwa itu bukti kedurhakaan. Ini tantangan kita bersama bagaimana mengajak anak perempuan bisa menolak perkawinan dini dan orang tua bisa menerima," paparnya.
Kisahnya yang inspiratif ini bahkan telah dipublikasikan media internasional.
Sanita kini fokus bersama komunitas dan Komisi Perlindungan Anak Desa melakukan sosialisasi mengenai dampak perkawinan anak.
Ia juga aktif dalam Youth Coalition for Girls, koalisi yang membantu anak perempuan untuk dapat menjalani potensi dalam dirinya.