Lebih lanjut Mujar mengatakan bahwa di Dusun Sasak Sade, ada 150 rumah dengan jumlah penduduk sekitar 700 orang. Sedangkan mayoritas agama di dusun tersebut beragama Islam.
Ia juga menceritakan bahwa di Dusun Sasak Sade, antara warga satu dengan lainnya masih satu garis keturunan atau satu keluarga, dan penduduk asli Sasak Sade jarang menikah dengan suku lain. Ini terjadi lantaran pernikahan di luar Suku Sasak, kata Mujar, dilarang karena ada sistem tagih menagih dengan membayar mahal mahar, yaitu berupa uang sekitar Rp30 Juta sampai Rp40 juta hingga satu ekor kerbau untuk dijadikan mahar.
"Kami di sini jarang menikah dengan orang luar, jadi kebanyakan menikah sama sepupu, bukannya kami nggak boleh menikah sama orang luar (di luar suku Sasak Sade), tapi kalau menikah sama orang luar, ada sistem tagih menagih. Sistem tagih menagih ini kita bayar mahal. Kalau menikah sama sepupu yang di dalam, tetap kita bayar mahar, tapi nggak dipaksa, semampunya saja," cerita lelaki yang mengenakan ikat kepala khas Dusun Sasak ini.
Tradisi Kawin Lari dan Kawin Culik
Suku Sasak Sade dalam proses pernikahannya, kata Mujar, juga tidak mengenal budaya lamaran seperti pada umumnya. Yang ada justru tradisi unik yang disebut kawin culik dan kawin lari. Disebut kawin lari, menurut Mujar, karena lelaki harus menculik kekasihnya tanpa sepengetahuan orangtuanya.
"Kalau minta baik-baik ngelamar anak gadisnya, malah kita dianggap melanggar adat. Kalau orangtua kami di sini merasa tidak dihormati atau dihargai kalau kita minta baik-baik. Itulah makanya disebut kawin lari," terang dia tersenyum.
Sementara kawin culik, lanjut Mujar, yaitu proses meminang seorang perempuan dengan cara menculik, lalu sang perempuan dipaksa harus menerima calon suami yang menculiknya. "Kalau culik ini ada unsur pemaksaan. Jadi, suka tidak suka kalau berhasil diculik, biar pun tidak suka sama calon suaminya, harus suka dan menerima kalau kurang lebih dari satu malam," ceritanya.
Mujar mencontohkan, misalnya suatu malam seorang anak gadis berhasil dibawa lari, keesokan harinya pihak laki-laki harus mengutus dua orang untuk memberi tahu kepada pihak perempuan. Namun pihak utusan laki-laki tidak langsung memberi tahu kepada pihak perempuan, namun harus berkomunikasi terlebih dahulu kepada kepala sukunya kemudian ke rumah orangtua perempuan.
"Misalnya anaknya tadi malam bukan hilang, tapi sudah diambil sama anak si A atau si B. Jadi, berturut-turut tiga hari dan ketiga hari ini untuk meminta wali sama pihak perempuan. Jadi, biarpun nggak setuju, nggak merestui, kedua orangtua perempuan wajib ngasih wali kepada pihak laki-laki. Jadi, di sini nggak ada istilah nggak setuju. Kemudian setelah diberikan wali, baru dilaksanakan acara akad nikah," terang Mujar panjang lebar.
Setelah akad nikah, barulah digelar acara adat yang disebut Sorong Serah Aji Krame. Di acara adat ini, mempelai perempuan dan laki-laki tidak boleh saling komunikasi sebelum acara adat selesai. Prosesi Sorong Serah Aji Krame, kata Mujar, merupakan pengumuman resmi secara adat perkawinan seorang laki-laki dan perempuan, yang disertai penyerahan peralatan mempelai laki-laki, yang dikenal dengan piranti-piranti simbol adat.
"Tapi juga dibayar, tapi tidak dibayar berupa uang, kerbau nggak? Ini dibayar peninggalan warisan nenek moyang seperti kain, gelang keris dan uang lama kalau membayar dengan adat," tuturnya.
Usai melaksanakan Sorong Aji Krame, dilanjutkan dengan tradisi adat Nyongkolan. Acara Nyongkolan, menurut Mujar, merupakan iringi-iringan pengantin dari rumah mempelai laki-laki menuju rumah perempuan dan disertai musik yang disebut Gendang Baleq.
"Ini acara terakhir. Jadi, iring-iringan pengantin dari rumah kedua orangtua lelaki menuju orangtua kedua perempuan. Ada juga arak-arak penganten Gendang Baleq," katanya lagi.
Selain menceritakan adat pernikahan Dusun Sasak, Mujar juga menceritakan mayoritas penduduk Sasak Sade yang bermata pencaharian sebagai petani dan penenun kain tradisional.
"Kalau mata pencarian, sebagai penduduk Sasak kami di sini rata-rata petani padi dan kedelai. Jadi, panen di sini setahun sekali. Kalau ada hasil panen, kami konsumsi untuk kebutuhan sehari-hari. Selain itu kami juga menenun kain sebagai kerja tambahan," ucap Mujar.
Tak heran bila hampir semua rumah di Dusun Sasak menjual kain tenun, hiasan dan aksesoris seperti kalung dan gelang, serta pernak pernik khas Sasak Sade lainnya. Itulah pengalaman menakjubkan yang tak terlupakan saat suara.com menyambangi Desa Wisata Dusun Sasak, Sade. Anda tertarik mengunjungi dusun yang sarat dengan tradisi unik ini?
Baca Juga: Tenun Baduy Mendunia, Akan Tampil di Paris Fashion Week