Sejuta Kenangan Semalam di Baduy Dalam!

Jane Suara.Com
Senin, 11 September 2017 | 16:12 WIB
Sejuta Kenangan Semalam di Baduy Dalam!
Suku asli Baduy Dalam ke mana pun mereka pergi tidak boleh menggunakan alas kaki dan dilarang menggunakan kendaraan.
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Penat dengan rutinitas kehidupan di kota seperti Jakarta, terkadang membuat Anda butuh untuk istirahat sejenak. Hal ini penting untuk penyegaran fisik dan spiritual. Karena itulah wisata alam dan budaya selalu menjadi destinasi favorit bagi traveler yang haus akan suasana alam yang damai dan bersahaja. Wisata alam dan budaya yang bisa Anda pilih adalah travelling ke suku Baduy. Bagi Anda yang baru pertama kali ke Baduy Anda bisa menggunakan ikut open trip dari berbagai grup travel.

Bagaimana cara menuju Baduy?

Dari Jakarta, Anda bisa naik kereta dari stasiun Tanah Abang menuju ke Rangkasbitung. Perjalanan ini memakan waktu sekitar 1 jam. Dari stasiun Rangkasbitung Anda bisa menggunakan mobil minibus menuju ke Parigi, kampung Cijahe.  Selama ini pintu masuk ke Baduy ditandai ada 3, yaitu Ciboleger, Nangrang, dan Cijahe. Ciboleger merupakan pintu utama. Apabila hanya ingin mengunjungi Baduy Luar, Anda cukup menggunakan kendaraan sampai Ciboleger, lalu berjalan kaki ke perkampungan Baduy Luar, dan Anda bisa menginap di rumah penduduk.

Jika Anda masuk dari Cijahe Anda bisa pilih untuk ke desa Cikeusik yang merupakan wilayah Baduy Dalam. Rute ini adalah rute tercepat dengan jalur trekking yang relatif singkat yaitu sekitar 45 menit. Di gerbang Cijahe terdapat beberapa toko kelontong yang menjual berbagai kebutuhan hidup sehari – hari. Pastikan Anda membawa perbekalan berupa beras secukupnya, telur, ikan asin dan mie instan saat hendak menginap di Baduy. Dari gerbang Cijahe, sudah banyak warga Baduy yang akan menyambut Anda dan mengantar menuju Baduy Dalam.

Suku Baduy bermukim di kaki gunung Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 kilometer dari kota Rangkasbitung. Wilayah tersebut memiliki topografi berbukit dengan kemiringan tanah rata-rata 45 persen dan terletak pada ketinggian 300-600 mdpl. Suhu udara berkisar 20 derajat celcius.

Di Baduy terdapat 56 kampung dan terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu Baduy Dalam yang terdiri dari 3 kampung yaitu Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik serta Baduy Luar yang terdiri dari 53 kampung. 

Sepanjang perjalanan menuju Baduy Dalam mata Anda akan dimanjakan dengan ladang suku Baduy serta pemandangan indah sambil naik turun perbukitan.

Suku Baduy menanam padi gogo, lahan yang mereka gunakan bukanlah lahan basah seperti persawahan pada umumnya. Padinya pun organik karena mereka tidak menggunakan antihama bahan kimia. Mulai sejak trekking dari Cijahe sampai perbatasan dengan Baduy Dalam, kita masih diperkenankan untuk mengambil gambar dengan kamera atau handphone. Sebagai informasi, batas antara luar Baduy dengan Baduy Dalam sebenarnya hanya sebuah gubuk yang digunakan sebagai tempat menginap oleh suku Baduy Dalam saat mereka berladang. Di perbatasan inilah yang menjadi titik akhir untuk mengabadikan momen sebelum masuk ke Baduy Dalam, awal menjalani hari tanpa listrik, teknologi dan semua penggunaan produk berbahan kimia.

Masuk ke Baduy Dalam

Sebuah jembatan bambu yang membentang di atas aliran sungat yang jernih menjadi penanda masuk ke desa Cikeusik. Anda akan disambut dengan rumah-rumah panggung dari bambu (saung ) yang berhadapan membentuk jalan setapak kecil ditengah-tengahnya. Suku Baduy Dalam hanya menggunakan kayu, bambu, ijuk, dan daun pohon aren yang diikat menggunakan tali untuk mendirikan rumah. Setiap rumah hanya diperbolehkan menghadap utara dan selatan. Tak ada perbedaan bentuk rumah, maupun perabotan yang digunakan setiap keluarga Baduy Dalam.

Biasanya sang pemilik rumah yang akan kita tempati untuk menginap atau perwakilan warga akan mengajak untuk berkeliling di desa Cikeusik. Di sini terdapat lumbung – lumbung padi (leuit) milik keluarga, tempat menumbuk padi, serta ada juga tempat yang berisi alat musik yang digunakan oleh warga desa Cikeusik  saat mereka mengadakan acara adat. Selain itu kita akan ditunjukkan rumah pu’un ( tetua adat ) dari jauh, dan ada batas bambu yang tidak bisa dilewati oleh pengunjung.

Untuk pakaian warga Baduy Dalam mengenakan baju berwarna putih, kain sarung hitam, dan ikat kepala putih sebagai pakaian keseharian mereka. Sesekali, saat melakukan perjalanan ke Baduy Luar, atau ke luar Baduy, baju putih mereka berganti menjadi pakaian berwarna hitam.

Setiap pengunjung yang hendak menginap di rumah warga Baduy harus mematuhi sejumlah larangan, di antaranya larangan membawa tape atau radio, tidak menggunakan handphone, tidak menangkap atau membunuh binatang, tidak membuang sampah sembarangan, tidak menebang pohon, tidak mengonsumsi minuman memabukkan, dan tidak melanggar norma susila.  Tidak hanya itu, jika berada di kawasan Baduy Dalam, pengunjung dilarang untuk merokok di dalam rumah, memotret, dan menggunakan sabun,sampo serta odol.

Bagi masyarakat Baduy Dalam yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan, amanah leluhur adalah segala-galanya. Menurut Juli, salah satu warga Baduy Dalam, bila tak menaati, mereka akan terkena sanksi adat hingga dikeluarkan dari Baduy Dalam.

“ Bila ada yang melanggar aturan adat akan diberikan hukuman. Biasanya mereka tidak diizinkan masuk ke Baduy Dalam selama 40 hari dan harus bekerja di ladang. Hukuman diberikan sesuai berat atau ringannya pelanggaran, “ ujarnya dalam Bahasa dialek Sunda-Banten.

 Struktur Sosial & Kearifan Lokal Baduy Dalam

Secara tradisional pemerintahan di Baduy bercorak kesukuan dan disebut kapuunan, karena pu’un menjadi pimpinan tertinggi. Pu’un dibantu oleh jaro sebagai pelaksana harian urusan pemerintahan kapuunan.

Pembagian tiga kampung Baduy Dalam memiliki makna penugasan adat. Tiga kampung Baduy Dalam ini adalah Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik

Setiap pu’un di Baduy Dalam memiliki wewenang yang berbeda.

Cibeo memiliki tugas urusan pelayanan masyarakat Baduy, sosial kemasyarakatan, dan terkait wilayah. Tugas pemerintahan, pertanian, dan komunikasi dengan warga luar juga masuk wewenang masyarakat Cibeo. Sedangkan Cikertawana bertugas sebagai penasihat urusan-urusan keamanan, ketertiban, kesejahteraan, dan pembinaan warga Baduy.

Terakhir Cikeusik bertugas soal keagamaan, pelaksanaan kalender adat, serta memutuskan hukuman bagi pelanggar adat.

Baduy Dalam memilih mempertahankan gaya hidup tradisional mereka sebagai masyarakat agraris. Teknologi modern dibatasi dan aktivitas bertani dilakukan secara tradisional. Mereka hanya memakai segelintir alat pertanian, seperti bedog (golok), arit, kored(cangkul kecil), etem (sejenis ani-ani), dan pisau.

Keteguhan masyarakat Baduy menjaga keseimbangan alam patut dicontoh oleh yang tinggal di kota besar. Larangan dan tabu itu jika ditelisik secara ilmiah ada manfaat positifnya, misal larangan mandi menggunakan sabun, odol, sampo. Bahan-bahan kimia dari cairan itu menyebabkan pencemaran air, limbah plastik kemasannya pun sulit diurai oleh tanah dan mengganggu keseimbangan alam.

Pengunjung biasanya diperbolehkan menginap satu malam di Baduy Dalam. Untuk kembali pulang, Anda bisa melewati perkampungan Baduy Luar. Setelah melewati perbatasan, Anda bisa mengabadikan momen di Baduy Luar.

Wisata ke Baduy adalah pilihan yang bisa Anda tuju jika Anda butuh refreshing sejenak dari kepenatan dan rutinitas sehari – hari. Baduy merupakan tujuan wisata yang unik sekaligus ekonomis. Tak perlu merogoh kocek yang besar, tapi Anda akan mendapatkan pengalaman yang tidak sederhana bagi jiwa. Keramahan, kesederhanaan, dan keseharian warga suku Baduy dalam berinteraksi dengan sesama adalah kenangan yang akan terus melekat selepas Anda berkunjung ke sana.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI