Terus Tuai Protes, Okky Madasari Belum Bisa 'Tulari' Anak Muda

Senin, 28 Agustus 2017 | 09:45 WIB
Terus Tuai Protes, Okky Madasari Belum Bisa 'Tulari' Anak Muda
Okky Madasari (Suara.com/Risna)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Nama Okky Madasari melesat setelah meluncurkan novel kontroversial berjudul "Maryam", lima tahun lalu. Niat hati menceritakan sisi kemanusiaan dalam setiap konflik, Okky malah didakwa sebagai sosok yang mendukung kelompok tersebut.

Novel-novel peraih Anugerah Sastra Khatulistiwa 2012 itu mengangkat tema-tema yang bisa dikatakan tidak populer. Misalnya, pada "Maryam", berkisah tentang orang-orang yang terusir karena iman. Perempuan bertutup kepala ini memfokuskan ceritanya pada pada sosok Maryam, seorang perempuan penganut Ahmadiyah asal Lombok yang mengalami diskriminasi dan penderitaan karena keluarganya terusir dari kampung halamannya.

Ketika ditemui Suara.com dalam gelaran Asean Literary Festival 2017, Okky bercerita bagaimana dalam membuat karya, komentar negatif dan protes merupakan satu hal yang biasa.

Namun, perempuan yang kini tengah mengikuti acara Iowa Writing Program di Amerika Serikat mengaku terkejut karena masih mendapat protes keras dari karyanya yang dirilis lima tahun lalu, "Maryam".

Baca Juga: Perempuan Ini Sukses Bikin Marissa Haque Cintai Tas Lukisnya

"Sekadar protes, sekadar ketidaksetujuan, itu biasa sekali. Hanya yang membuat saya bertanya kepada diri sendiri juga, tahun 2017 saja masih seperti ini. Berarti dari perspektif saya sebagai penulis, saya belum berhasil mewarnai pola pikir generasi muda Indonesia," kata novelis yang telah menerbitkan lima karya novel, dan satu cerpen tersebut.

Okky yang juga merupakan inisiator sekaligus Program Director ASEAN Literary Festival (ALF), mengaku tetap 'memantau' penulis-penulis muda dan karya-karya mereka. Pemilik akun Twitter @OkkyMadasari ini juga merasa takjub dengan peran media sosial yang ia anggap berhasil mengangkat banyak karya sekaligus penulis baru yang berbakat.

Masalahnya, menurut Okky, metode ini membuat beberapa orang berkarya karena hanya 'kepingin' dan terjebak pada segi kuantitas, yang penting menghasilkan karya.

"Tantangannya adalah bagaimana agar tidak terjebak pada kondisi, ah yang penting ada, yang penting terbit. Peran kita memang harus saling memberi ruang, melalui diskusi, saling bertukar pikiran, agar yang muda-muda ini juga bisa tumbuh pemikiran kritisnya, bisa melihat masalah sosial," ungkapnya.

Meski begitu, sebagai seorang penulis, Okky tidak menampik adanya tekanan yang datang dari diri sendiri jika terlampau lama tak menelurkan sebuah karya. Setelah menerbitkan buku berjudul "Pasung Jiwa" pada 2013, Okky sempat mengambil jeda selama tiga tahun.

Baca Juga: Jajang C Noer, Cinta dan Dedikasi dalam Dunia Seni

Waktu-waktu seperti itulah, Okky merasa gelisah dan ada tekanan agar lekas menelurkan karya terbaru. Hingga akhirnya pada 2016, Okky berhasil pecah telur dan merilis novel "Kerumunan Terakhir" pada 2016.

Sebagai seorang penulis yang banyak mencurahkan sisi lain perempuan, Okky mengaku terkejut jika pernikahan yang dijalaninya dengan jurnalis Abdul Khalik sejak Desember 2008 merupakan momen yang berhasil "membebaskannya".

Perempuan kelahiran Magetan, di kota kecil Gunung Lawu itu mengaku berbeda dengan teman-temannya yang memiliki pandangan feminisme, menikah, menurutnya sebagai momentum pembebasan dan bukan menjadi alat yang memasungnya dalam berkarya.

"Saya menikah Desember 2008, mulai menulis 2009. Suami saya memberi ruang seluas-luasnya. Dia adalah sosok yang mewarnai intelektualitas saya, pembaca pertama tulisan-tulisan saya, dan orang pertama yang yakin bahwa tulisan saya layak diterbitkan," jawab perempuan kelahiran 30 Oktober, 32 tahun silam.

Ke depannya, Okky akan menghadapi tantangan baru. Tantangan tersebut adalah menulis suatu karya yang bisa dinikmati oleh anak-anak, termasuk anaknya kelak yang kini sudah berusia tiga tahun, Mata Diraya.

"Saya berpikir bagaimana supaya ketika dia SD, dia bisa baca karya ibunya. Novel-novel saya sebelumnya terbilang dewasa. Masa harus menunggu dia SMP dulu baru bisa baca karya ibunya, Entrok atau Pasung Jiwa? Jadi, ini oleh-oleh dari perjalanan ke Atambua, NTT ketika dikirim Badan Bahasa selama 10 hari. Saya bawa Mata Diraya juga saat itu. Saya diminta untuk menulis cerita tentang daerah perbatasan. Di luar itu, saya akan menuliskan novel dengan karakter utama anak umur 12 tahun. Ini tantangan besar untuk saya, membuat novel yang bernilai tapi bisa dibaca siapa saja," ujarnya.

Salah satu penghargaan yang pernah Okky terima lewat karyanya adalah Anugerah Sastra Khatulistiwa 2012 untuk novel "Maryam" ketika dia menginjak usia 28 tahun dan merupakan penulis termuda yang mendapat penghargaan sastra tertinggi di Indonesia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI