Semua ini membuat sulit untuk mengetahui apakah hasil penelitian dapat diterapkan pada pengguna rata-rata Instagram, menurut penulis studi Chris Danforth, co-director di University of Vermont's Computational Story Lab.
Para peneliti berharap agar hasilnya dapat membantu mendorong ilmuwan melakukan lebih banyak penelitian mengenai perpotongan tanda teknologi dan depresi, yang mungkin bisa mengarah pada deteksi dini yang lebih baik untuk
penyakit jiwa di masa depan.
"Ini menunjukkan beberapa hal pada gagasan bahwa Anda mungkin bisa membangun alat seperti ini untuk membantu individu lebih cepat," kata Danforth kepada HuffPost.
Ia juga menambahkan bahwa program tersebut dapat memberi beberapa utilitas untuk dokter, ketika mereka harus mendiagnosis pasien yang mungkin hanya datang sesekali dalam beberapa tahun untuk pemeriksaan.
Baca Juga: Ini Dia Manfaat Naik Gunung untuk Kesehatan Mental
"Hasil penelitian juga sejalan dengan apa yang telah diamati oleh profesional kesehatan mental di masa lalu," kata Danforth.
Mereka yang depresi cenderung menarik diri dari kelompok sosial. Jadi masuk akal jika peserta dalam penelitian ini memiliki lebih sedikit orang di foto mereka. Pandangan dunia mereka sering kali lebih gelap, yang bisa menjelaskan filter foto yang cenderung mereka pilih.
Hampir 300 juta orang di seluruh dunia terkena depresi. Idealnya, Danforth mengatakan bahwa hasil terbaik dari teknologi seperti ini adalah agar orang-orang tersebut mendapatkan dukungan medis yang mereka butuhkan. Terutama saat mereka mungkin tidak sadar tentang apa yang sedang terjadi atau ragu untuk menjangkau mereka sendiri.
Media sosial tidak akan kemana-mana, jadi memasukkannya ke dalam penelitian kesehatan adalah hal penting dan dapat menjadi kemenangan bagi semua orang. Penelitian ini dipublikasikan di jurnal EPJ Data Science.
Baca Juga: Waduh! Instagram Medsos Terburuk bagi Kesehatan Mental