Dilema Moral dan Hukum Robot Seks

Chaerunnisa Suara.Com
Rabu, 12 Juli 2017 | 19:33 WIB
Dilema Moral dan Hukum Robot Seks
Koleksi Boneka Seks Stacey Leigh. [Metro]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kehadiran robot seks membuat dilema moral dan hukum. Kemajuan teknologi robot seks tersebut telah membawa masalah serius seputar moral, dan status hukum.

Profesor Robin MacKenzie, ahli etika dari Kent Law School mengatakan, kehadiran robot seks telah menyentuh batas antara moral dan hukum. Dia memaparkan, seks yang terdiri dari unsur biologis,  sosial, psikologis, dan kultural itu ternodai kehadiran robot seks yang menggantikan peran manusia sebagai pelakunya.

"Jadi (robot seks) adalah jenis kelamin manusia atau hewan. Kelompok seperti itu diakui sebagai makhluk hidup yang tidak bisa menyetujui seks dengan kepentingan yang membutuhkan perlindungan. Sentuhan seksual yang secara sadar, dan diciptakan untuk terlibat dalam keintiman emosional atau seksual dengan manusia tergganggu oleh kemajuan teknologi ini," ujar dia.

"Mereka (robot seks) bukan manusia, meski mereka akan terlihat seperti manusia, merasa seperti kita yang dapat menyentuh dan bertindak sebagai pasangan intim secara seksual. Sementara mereka diproduksi, terdiri dari komponen biologis, lengkap dengan perasaan, kesadaran diri dan kapasitas untuk berhubungan dengan manusia, berarti mereka tidak dapat dikategorikan sebagai barang atau binatang," sambungnya.

Robot seks, memang dapat menggantikan fungsi manusia untuk melakukan hubungan intim. Namun, keberadaan alat yang satu ini tidak dapat diterima secara etika.

Baca Juga: Lihat! Intimnya Lelaki Ini "Menikah" dengan Boneka Seks

"Etika, pembuat undang-undang dan produsen memperlakukan boneka sebagai makhluk intim, seks di masa depan lebih dari sekadar hal itu. Boneka seks atau robot animasi yang saat ini dijual bebas, mampu mensimulasikan penampilan manusia, menganggap posisi seksual dan meniru percakapan dan emosi manusia. Ini adalah hal-hal yang secara tidak sadar, tidak mampu menjalin hubungan atau keintiman, seperti yang dijelaskan dalam laporan Foundation for Responsible Robotics yang baru saja dirilis," imbuhnya.

"Proposal Parlemen Eropa yang disahkan pada bulan Februari 2017 untuk mengenali robot cerdas sebagai 'orang elektronik' legal, hanya berfokus pada robot sebagai barang, alat atau perangkat. Mereka hanya berusaha memastikan bahwa perusahaan yang memiliki robot bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi, dan bahwa robot tersebut diprogram untuk menghindari kerugian bagi manusia," sambung dia.

Meski begitu, dia menyatakan, setiap orang berhak memutuskan untuk menerima atau menolak keberadaan robot seks.

"Ini kembali pada kepribadian masing-masing, kemampuan untuk memutuskan apakah akan menyetujui atau menolak robot seks, dan memiliki keputusan yang dijunjung tinggi oleh undang-undang. Namun, kepribadian hukum penuh memerlukan aksi lebih lanjut, haruskah kita membahas masalah robot seks ini, termasuk hak untuk menikah? Atau harus kita menerima bahwa kita akan terlibat dalam tindakan etis, keintiman seksual dan emosional eksploitatif dengan makhluk hidup bawahan yang dibuat dan dijual untuk tujuan itu," tandasnya.

Sekadar diketahui, Profesor McKenzie merupakan pakar aspek etika dan ilmu saraf. Dia juga merupakan anggota Dosen Robot Inisiatif Inisiatif FET yang didanai Uni Eropa untuk Citizens Ethics and Society Working Group menyelidiki implikasi secara etis dan hukum dari penciptaan robot seks di Eropa. (Mirror)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI