Suara.com - Bali tak hanya dikenal sebagai tujuan wisata kelas dunia, tapi juga pulau yang kental dengan berbagai budaya dan ritual sakral. Salah satunya, ritual Sang Hyang Dedari.
Sang Hyang Dedari merupakan seni tari yang berkaitan dengan budaya produksi pangan di Bali yang dilakukan menjelang panen, atau menjelang padi menguning di sekitar April.
Meski sudah dinyatakan sebagai Warisan Dunia Tak Benda oleh Organisasi Kebudayaan, Pendidikan, dan Ilmu Pengetahuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), ritual budaya ini terancam punah dan hanya ada satu desa yang masih menjalani ritual ini selama 10 tahun terakhir. Yaitu Desa Adat (Banjar) Geriana Kauh, Desa Duda Utara, Kecamatan Karangasem.
Menurut Peneliti Tari Sang Hyang Dedari, Saras Dewi, pengajar Filsafat Lingkungan Hidup Universitas Indonesia, Sang Hyang Dedari sempat hilang selama 30 tahun di desa tersebut.
Masa kehilangan itu terjadi pada masa Orde Baru saat di mana terjadi perubahan masa revolusi hijau, pemaksaan dari pemerintah Orde Baru pada masyarakat atau petani, untuk mengejar target pertanian yang sangat besar.
Dari menanam bibit organik berubah menjadi hibrida. Lingkungan hidup semakin rusak, tanah menjadi tidak sehat, dan membuat urbaninasi besar-besaran masyarakat dari desa ke kota. Dampak berikutnya, kata dia, sistem pertanian berubah, mengakibatkan ritual seperti Sang Hyang Dedari tak lagi relevan dengan kondisi pada saat itu.
Namun, karena panen terus gagal, warga pun memutuskan kembali menjalani ritual yang dipercayai dapat mengusir penyakit atau hama mengganggu pada pertanian mereka. Ritual itu dipercaya dapat mendatangkan Dewi Sri atau kemakmuran.
Lebih lanjut, Saras mengungkapkan, saat ritual tari ini dilakukan, hal yang cukup menarik adalah bagaimana anak-anak perempuan yang belum memasuki fase menstruasi yang justru dilibatkan.
"Saat melihat anak-anak ini, mereka seperti anak-anak pada umumnya. Mereka main, sekolah. Tapi saat mereka mulai dipakaikan 'baju bidadarinya' dan asap seperti kemenyan membumbung, mata mereka langsung berubah. Mereka kerasukan dan langsung menari," cerita Saras dalam diskusi bertajuk 'Makanan dalam Lirikan Seni' yang diadakan OK.Video 2017 di Jakarta, Minggu (14/5/2017).
Di tengah fenomena alih fungsi sawah yang kian hebat demi pembangunan infrastruktur pariwisata di Bali, Tari Sang Hyang Dedari bisa menjadi strategi mempertahankan lahan pertanian yang ramah lingkungan di Pulau Dewata.
Sang Hyang Dedari juga seakan menunjukkan kelekatan kehidupan ritual masyarakat Bali dengan tradisi pertaniannya. Dia sangat bersyukur bahwa di tengah modernisme di Bali, masih ada masyarakat yang mempertahankannya.
Saras memaparkan, kondisi itu seakan menjadi bukti bahwa seni memang tidak terpisahkan dari kehidupan rohani dan ekologis manusia. Seni merupakan cara yg paling bisa diandalkan untuk melakukan penyehatan lingkungan dan penyehatan relasi sosial.