Suara.com - Sri Rahayu atau Ayu kini telah menginjak usia 64 tahun. Meski sudah memasuki kepala enam, ia masih sibuk gerilya mencari jejak HIV di sudut kota bagian Barat dan Utara Jakarta.
Sudah 21 tahun lamanya, Ayu bergaul dengan pelaku sekaligus pelanggan dari perempuan-perempuan malam. Tujuannya hanya satu, mencegah penularan virus HIV semakin luas.
"Awalnya saya melihat lokalisasi ini rawan sekali karena remaja masuk, anak sekolah masuk, ibu rumah tangga juga nyambi masuk situ," papar Ayu ketika ditemui suara.com di Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Tanjung Priok Wilayah Kerja Pelabuhan Sunda Kelapa.
Berbagai cara dilakukan demi tercapainya misi mengurangi jumlah penularan HIV, mulai dari kejar-kejaran dengan pelaku di jalanan hingga membuka sebuah kafe di area lokalisasi.
"Kafe yang saya buka itu sebagai tempat monitoring WPS (wanita pekerja seks) yang baru. Mencari tahu apakah anak tersebut sedang depresi atau secara tragis tercebur dalam dunia hitam," bebernya.
Ayu mengaku, kadang harus bermain kucing-kucingan dengan anak-anak punk jalanan demi mencari tahu apakah anak-anak tersebut menderita HIV atau penyakit kelamin lainnya.
Lantas, apakah Sri Rahayu dalam menjalankan misi mulianya itu berjuang sendirian? Simak ulasannya di bagian selanjutnya.
Membentuk Yayasan Putri Mandiri
Rahayu tak sendirian, perempuan pensiunan Suku Dinas Sosial Jakarta Utara itu juga membentuk Yayasan Putri Mandiri sebagai wadah yang aktif mendampingi perempuan terpinggirkan di Jakarta Utara.
"Isinya orang-orang mantan WPS yang berusia di atas 40 tahun. Ada yang jadi tukang cuci, ada yang buka warung kopi, berkumpul membentuk yayasan demi penanggulangan HIV," terangnya merinci.
Perempuan yang beberapa kali mendapatkan pelatihan khusus sebagai konselor oleh Kemenkes tersebut memiliki trik jitu agar bisa melakukan pendekatan dengan masyarakat yang tinggal di area rawan penyebaran virus penyakit kelamin.
Caranya, ia mendekati ibu-ibu pejabat RT atau istri dari RT dan berdalih akan melakukan sebuah workshop atau pelatihan keterampilan di lokasi yang ia pilih. Dari situ, akan timbul rasa kepercayaan antara masyarakat yang ditemuinya dan ia mulai mengoceh tentang bahaya HIV pada masyarakat.
Ayu juga kerap melakukan sosialisasi melaui posyandu-posyandu dan mendekati ibu-ibu rumah tangga.
"Ibu rumah tangga tidak tahu tentang penyakit itu apa, mereka ngakunya kena tifus. Lalu saya bilang, kalau mau (punya) anak sehat, ibunya juga harus sehat, mau dites sehat atau enggak? saya tes mereka, tapi mereka jangan tanya-tanya," urainya panjang lebar.
Menurutnya, melakukan pendekatan dengan masyarakat untuk melakukan tes VCT (Voluntary Conseling and Testing) harus lah sambil mengendap-endap dan jangan secara tiba-tiba membahas mengenai HIV, karena HIV masih dianggap masyarakat sebagai penyakit akibat perilaku buruk dan sebuah aib.
Yang menjadi pertanyaan, apakah perjuangan seorang Sri Rahayu selalu berjalan mulus? Ikuti kisahnya di bagian selanjutnya.
Tak Takut Hadapi Preman
Meski sudah usia lanjut, Ayu tak takut menghadapi preman-preman yang kerap mencoba menggagalkan aktivitas blusukannya ke area rawan HIV seperti lokalisasi. Pernah suatu ketika, ia harus menghadapi 13 preman sekaligus ketika membuat program edutaiment berkedok panggung hiburan guna mengumpulkan para pelanggan WPS.
"Tantangan itu banyak, apalagi preman-premannya. Nggak boleh ada tempat seperti ini, nggak usah urus hal-hal seperti ini, ini punya saya (preman), kata mereka. Perlahan preman saya kumpulkan, mereka maunya duit, saya kasih duit, mereka diem," ungkapnya blak-blakan.
Dalam perjuangnya, Rahayu memang tidak pernah menyinggung pelaku mengenai moral. Menurutnya, hal yang penting adalah kesadaraan seseorang untuk menjaga tubuh mereka dari penyakit kelamin.
Hingga saat ini, Ayu mengaku tak berniat untuk berhenti melakukan blusukan mencari jejak HIV di tempat-tempat yang menjadi incarannya.
"Saya masih kuat, masih bisa, masih mampu," tutup perempuan berpenampilan nyentrik kelahiran Pemalang tersebut kepada suara.com.
Keberaniannya berjuang di lokalisasi demi kesehatan perempuan patut diacungi jempol dan sangat insoiratuf. Tak berlebihan rasanya bila Sri Rahayu disebut sebagai Kartini masa kini.