"Fenomena itu akan berakhir setelah salah satu pihak mulai pacaran lagi dengan kekasih barunya dan menginginkan rumah tangga yang baru," tutur Yin.
Dalam salah satu artikel yang dipublikasikan laman hukum hg.org dan portal berita milik pemerintah setempat menyebutkan bahwa meskipun kearifan lokal mendorong bahwa jalinan rumah tangga semestinya berakhir seiring dengan gagalnya ikatan perkawinan, kondisi perekonomian saat ini telah memaksa beberapa orang tetap tinggal bersama setelah jatuhnya "sighat" talak.
Laman tersebut mengungkapkan bahwa sejumlah mantan pasangan suami-istri tidak hanya menanggung kerugian besar saat menjual rumah mereka, melainkan juga harus mampu menyediakan pendapatan tambahan untuk bisa mendapatkan rumah lagi.
Alasan Keuangan Pang merasa yakin perceraian dengan suaminya akan berlangsung lama, namun kepemilikan apartemen akan kembali ke tangannya secara penuh.
Dia tahu mantan suaminya ingin menikah lagi. Namun seperti dirinya, mantan suaminya itu masih memikirkan apartemen tersebut.
Pang belajar dari pengalaman teman dekatnya setahun yang lalu mengenai jaminan hidup bersama yang saling menguntungkan setelah berpisah.
Awalnya, dia tidak menyangka pengalaman temannya itu dialaminya sendiri. Meskipun dia tidak ingin terperangkap dalam pernikahan tanpa cinta, dia akan tetap berupaya memperoleh apartemen itu.
"Beruntung kami punya tiga kamar tidur. Mungkin hal ini yang membuat kami bisa tinggal satu atap," tuturnya.
Mantan suaminya menyetujui usulan Pang untuk tinggal satu atap walaupun hidup tanpa cinta lagi. Oleh sebab itu, setelah mendapatkan akta cerai, mereka tidur di kamar berbeda walaupun masih dalam satu petak apartemen.
Hal yang sama juga dialami Jack Su (37). Dia bersama istrinya membeli apartemen di Beijing sekitar lima tahun yang lalu. Saat bercerai pada musim panas tahun lalu, mereka tidak punya solusi bagaimana bisa membayar sewa apartemen 10.000 yuan (Rp19,5 juta) per bulan. Padahal tidak satu pun di antara gaji keduannya mencapai angka itu.