Pada sarasehan Kampung Budaya Polowijen bertajuk' 'Mencari Hari Jadi Polowijen' yang digelar di Polowijen, Kota Malang, Jawa Timur, Minggu (2/4/2017), arkeolog Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono mengungkapkan, setelah lebih dari satu milenium tak diperoleh informasi mengenai kesejarahan Polowijen, pada abad X Masehi, hadir data epigrafis yang menyinggung tentang ‘Panawijyan’. Data tersebut adalah prasasti Tamraprasasti Wurandungan Kanyuruhan B bertarikh Saka 865 (943 Masehi), yang dikeluarkan oleh Sri Maharaja Pu Sindok.
"Diantara tujuh lempeng Prasasti Kanyuruhan B tersebut, ada sebuah lempeng yang menyebut Panawijyan, yaitu lempeng IV sisi belakang (recto)," kata Dwi dalam keterangan tertulis di Malang, Kamis (6/4/2017).
Menurut Dwi, lempeng tersebut informasinya berkenaan dengan penetapan sima sawah di Panawijyan, yang meliputi tiga bagian. Pertama, 13 jong untuk sawah yang dinamai “kingkaburing”, yang diukur dengan tepat dari Kanuruhan.
Kedua, sawah untuk jenis padi gaga seluas 2 jong pada sebelah barat Parhyangan.
Baca Juga: Inilah Sejarah Kuno Kampung Budaya Polowijen di Malang
"Dan ketiga, sawah untuk jenis padi gaga di sebelah barat Gurubhaki," kata Dwi.
Dwi menjelaskan, sebagaimana disebutkan Zoetmulder, dengan disebutnya kata “Parhyangan”, berarti pada Panawijyan terdapat tempat pemujaan kepada dewa. Sayang, tanpa disertai keterangan tentang dewa siapakah yang dipuja. Selain itu, terdapat kata “guru bhakti”, yang berarti tempat berbakti kepada guru.
“Istilah ini memberi gambaran tentang tempat pembelajaran, khususnya pembelajaran agama di bawah bimbingan seorang guru (brahmacarin)”, atau lazimnya disebut dengan ‘mandalakadewagurwan’,” jelasnya.