Arkeolog Universitas Negeri Malang, M.Dwi Cahyono mengatakan, dalam sejarahnya, Panawijyan adalah desa yang pada abad X Masehi telah menyandang status ‘sima’ (swatantra)‘, yakni sebuah desa agraris yang terbilang maju pada jamannya.
Bahkan, menurutnya, memasuki akhir abad XII atau awal abad XIII Masehi, desa yang di dalam kitab gancaran Pararaton dinamai dengan ‘Panawijen’ berkembang menjadi Mandala Mahayana Buddhisme yang dipimpin oleh Pu Purwa, yang tiada lain adalah ayahanda Ken Dedes.
Kini, desa kuno tersebut beralih sebutan sedikit menjadi Polowijen, sebuah kelurahan di pinggiran Kota Malang yang tengah bermetamorfosis dari pedesaan (rural) ke perkotaan (urban). Seiring dengan itu, jejak budaya masa lampau, baik artefaktual, ekofaktual ataupun tradisi lisan yang berkenaan dengan sejarah Panawijyan dan Ken Dedes kian terpinggirkan, bahkan nyaris dilupakan.
Baca Juga: Tarian Kolosal Topeng Grebeg Jowo Warnai Peresmian Polowijen
Pandangan ini dikemukakan Dwi Cahyono pada sarasehan Kampung Budaya Polowijen 'Mencari Hari Jadi Polowijen' yang digelar di Polowijen, Minggu, (2/4/2017)lalu.
Menurutnya, jejak itu menjadi pembukti bahwa Kota Malang adalah wilayah padamana kehidupan Ken Dedes, yakni Sang Strinareswari bermula.
"Beruntunglah, tak jauh daripadanya terdapat Taman Kota, yang kebetulan disertai dengan arca Prajnaparamita (de potrait Ken Dedes) yang berukuran amat besar, yang seakan berelasi dengan kesejarahan Polowijen," terang Dwi sebagaimana keterangan tertulis di Malang, Kamis (06/04/2017).
Anggota tim cagar budaya Kota Malang itu bilang, ikon Kota Malang ini menegaskan, siapapun orang yang hidup pada masa sekarang, bahwasanya ‘basis edukasi’ telah tertanam jauh di Bhumi Malang semenjak Masa Hindu-Buddha," tegas dia.
“Arca Prajanaparamita (Dewi Ilmu Pengetahuan Tertinggi) serta adanya Mandala Buddhis di Panawijen pada masa lalu menjadi fakta bahwa Malang adalah ‘Basis Pendidikan’ dalam lintas masa,” ujarnya. *