Suara.com - Anda pernah mampir ke Plataran L’harmonie Menjangan di Bali Barat utara? Untuk menuju kawasan itu, Anda harus memasuki hutan seluas 4 kilometer (km) dari Jalan Raya Gilimanuk-Buleleng, yang konstruksi jalannya mempertahankan bebatuan tanpa aspal atau cor beton, dan dilengkap papan petunjuk serba kayu dan artistik?
Kalau nasib sedang mujur, Anda bisa bertemu menjangan bercula panjang, atau sekumpulan monyet yang jauh dari kesan nakal.
Di kawasan ini, Anda disarankan untuk tidak memberi makan pada binatang, menjaga kecepatan kendaraan agar tidak lebih dari 10 km/jam, tidak boleh berburu, memancing sembarangan, apalagi memotong pepohonan di sana.
Anda akan menemui sebuat resort di sana yang ber-tagline “Integrated Eco Nature Development Park”, yang dibangun di dalam Taman Nasional Bali Barat.
Ada juga The Octagon di lantai tiga, tempat dimana Anda bisa memandang matahari terbenam, alam yang indah, sambil menikmati secangkir kopi panas.
Plataran Group menyempurnakannya dengan menampilkan koleksi barang-barang antik, lonceng raksasa dari Belanda, yang dipajang di lobi restoran. Tembok-temboknya juga memanfaatkan batu karang yang ditata rapi dan nyaman dipandang mata.
Misool Raja Ampat Juga Masuk 100 Besar Dunia
Pada Hari Pariwisata Dunia atau The Tourism Day, 27 September 2016, Plataran L’harmonie dinobatkan sebagai 100 top destinasi hijau dunia, dalam Global Green Destination Day di Ljubljana, Slovenia. Indonesia diwakili David Makes dari PT Trimbawan Swastama Sejati. Selain Plataran L’harmonie, Pulau Misool di Raja Ampat, Papua juga masuk dalam 100 besar dunia.
Pemilihan 100 destinasi dunia, yang dinilai dari 46 negara termasuk Indonesia tersebut cukup membanggakan.
“Dengan terpilihnya Indonesia sebagai salah satu destinasi hijau pariwisata merupakan konfirmasi bahwa pariwisata Indonesia diperhitungkan secara global. Ke depan diharapkan menjadi sebuah destinasi hijau, sehingga moto Kementerian Pariwisata 'Semakin Dilestarikan Semakin Mensejahterakan' betul-betul konkret,” kata Makes, yang juga Ketua Tim Percepatan Ekoturisme Kemenpar itu.
Menpar Arief Yahya, yang juga menaruh perhatian pada ekoturisme, menyatakan, implementasi kriteria ini dinilai tidak mudah bagi negara berkembang seperti Indonesia. Tetapi mantan Dirut PT Telkom ini sudah berkomitmen bahwa alam harus dijaga, dipertahankan, dan dilestarikan.
Di hampir semua destinasi yang menonjolkan nature, menpar selalu berpesan agar konservasi selalu dijaga. “Kalau ada potensi terumbu karang, jangan pernah dirusak, karena itu hanya akan menghancurkan masa depan Anda,” katanya.
Sebuah contoh sukses tentang ekoturisme, menurut menpar adalah Mandeh, Sumatera Barat (Sumbar), yang disebutnya sebagai Raja Ampat-nya Sumatera. Ketika warga Carocok, Pesisir Selatan, Sumbar, bermata pencaharian sebagai nelayan, maka mereka menangkap ikan.
“Satu hari mereka hanya mendapatkan penghasilan Rp 50 ribu. Sekarang, kawasan mereka berubah menjadi destinasi wisata, sehingga harus menjaga terumbu karang dan ikan di dalamnya. Pendapatan mereka naik, menjadi Rp 225 ribu per hari. Itu contoh, bahwa semakin dilestarikan, semakin mensejahterakan,” katanya.
Bukan hanya itu. Arief juga berkomitmen dalam urusan sustainable tourim development (STD). Pada PATA Travel Mart Indonesia 2016, menpar memberi penghargaan kepada beberapa destinasi sebagai bagian dari STD yang sudah diakui oleh United Nation World Tourism Organization (UNWTO).
“Satu di Pangandaran, Jawa Barat bekerja sama dengan ITB Bandung. Satu di Kulonprogo, Yogyakarta bersama dengan UGM, dan satu lagi di Lombok, bermitra dengan Universitas Mataram,” ujarnya.
Selain itu, Kemenpar juga telah menerbitkan peraturan menteri khusus berkaitan dengan pembangunan kepariwisataan berkelanjutan, yang menjadi panduan pengembangan wisata Indonesia ke depan.
Selain gencar mengejar target kunjungan 20 juta turis mancanegara pada 2019, keindahan alam dan budaya Indonesia diharapkan dapat terjaga kelestariannya. Hal ini sejalan dengan tuntutan perkembangan pariwisata global ke depan sesuai dengan prinsip sustainable development goals.