''Data real time ini tak mungkin kita peroleh, jika platform kita tidak digital. Saya juga sudah meminta Pak Samsriyono (Nugroho, Staf Khusus Kemenpar) untuk mempersiapkan sebuah platform online marketplace pariwisata Indonesia, yaitu ITX (Indonesia Travel Exchange). Platform ini akan berfungsi super efisien sebagai hub yang mempertemukan supply dan demand industri pariwisata Indonesia. Terkait go digital, saya punya tagline yang sepertinya orisinal, yaitu 'The more digital, the more personal. The more digital, the more professional. The more digital, the more global'.”
Semakin digital, maka Kemenpar bisa menggunakan beragam apps dan digital tools untuk menyentuh konsumen secara personal.
''Kita bisa tahu demografi, psikografi, dan perilaku konsumen kita. Semakin digital, maka cara kerja kita dalam menggaet wisatawan akan semakin profesional, misalnya dengan memanfaatkan convergence media yang mengintegrasikan paid, owned, dan social media,'' katanya.
Dengan menggunakan big data, maka insights perilaku konsumen dapat diketahui jauh lebih presisi. Semakin digital, maka akan bisa menjangkau konsumen global dari manapun dia berada.
''Begitu menggunakan platform digital, maka kita bisa diakses oleh wisatawan dari manapun di seluruh dunia.”
“Digital Lifestyle”
Mengapa kita harus go digital? Tak lain karena perilaku konsume sudah berubah, yaitu menjadi semakin digital, apalagi jika gen Y (milenial) dan gen Z semakin besar jumlah dan pengaruhnya.
Kini kita mengenal istilah “always-connected travellers”, di manapun dan kapanpun mereka saling terkoneksi dengan adanya mobile apps/devices.
“Ingat, jika kita tak berubah mengikuti perubahan konsumen, kita pasti akan mati,'' paparnya.
Gaya hidup wisatawan dalam mencari informasi destinasi, memperbandingkan antar produk, memesan paket wisata, dan berbagi informasi kini telah mereka lakukan secara digital. Singkatnya, mereka search and share dengan media digital. Ciri digital lifestyle ada tiga, yaitu mobile, personal, dan interactive.