“Saya sudah keliling airlines, berdiskusi dengan industri penerbangan. Harus ada semangat Indonesia incorporated, harus bersama-sama memajukan republik ini, sesuai dengan porsinya,” ujar menpar, yang mantan Dirut PT Telkom itu.
Arief pun membawa beberapa ide untuk bisa diimplementasikan di AP II, paling tidak di 13 airport yang berada di bawah pengelolaannya. Kalau soal pembangunan fisik, menpar menyadari akan lama dan sulit, karena harus diawali dengan hal-hal non fisik.
Pertama, working hours atau jam operasional, yang harus bisa melayani 24 jam, sehingga bisa mengatasi problem jumlah penemrbangan.
“Dulu, dalam ratas (rapat terbatas) dengan presiden, sudah pernah diputuskan untuk menaikkan jam operasi dari 12 jam menjadi 18 jam, agar bandara seperti Adi Sucipto Yogyakarta bisa menampung lebih banyak penerbangan,” ujarnya.
Menpar juga mencontohkan Bali, Jakarta, dan Manado, yang sudah mulai bisa didarati pesawat yang terbang malam.
Kedua, harus ada implementasi dengan teknologi informasi (IT) di semua layanan publik. Dengan memanfaatkan digital, pasti tidak akan ada kebocoran di sana sini.
“Dulu, PT KAI di era Pak (Ignasius) Jonan juga menggunakan digital dan IT. Hasilnya langsung dobel, memudahkan semua pihak. Saya jamin, jika semua lini menggunakan IT, pengelolaan bandara juga akan double value,” jelasnya.
Ketiga, memperbaiki semua regulasi yang menghambat. Hal-hal yang membuat regulasi terhambat harus segera dibedah, direvisi, dan diperbaiki. Tentu, dengan tetap memperhitungkan standar keamanan masyarakat.
“AP II jauh lebih beruntung dari industri transportasinya, airlines. Mereka lebih sulit mengejar revenue, karena harus menghitung dengan benar. AP II bisa mengkombinasikan service dan property, dan Anda semua tahu, bisnis property jauh lebih menghasilkan daripada jasa penerbangan,” tambah menpar.
Bisnis Transportasi dan Industri Bisa ‘Dikawinkan’