Cerita Emmanuel, Dokter Teladan yang Mengabdi di Daerah Terpencil

Jum'at, 19 Agustus 2016 | 10:31 WIB
Cerita Emmanuel, Dokter Teladan yang Mengabdi di Daerah Terpencil
Emmanuel Mareffcita Siagian, dokter teladan yang mengabdi selama dua tahun di Puskesmas Tanarara, Kabupaten Sumba Timur. (Foto: Dok. Pribadi)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tak seperti penduduk perkotaan, mereka yang tinggal di daerah pedesaan harus mengalami banyak tantangan untuk mengakses pelayanan kesehatan. Jangan membayangkan mewahnya fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, karena ketersediaan dokter di daerah terpencil masih sangat sedikit.

Salah seorang dokter PTT yang dinobatkan menjadi salah satu tenaga kesehatan teladan oleh Kementerian Kesehatan, Emmanuel M. Siagian pun menceritakan pengalamannya. Ia bertugas di Puskesmas Tanarara, Kabupaten Sumba Timur. Sebuah daerah yang sangat jauh dari perkotaan dan belum terjangkau akses transportasi massal.

"Saya bertugas di puskesmas yang tergolong sangat terpencil. Sebagian masyarakat kita belum menikmati kemerdekaan dari sisi kesehatan. Terbatasnya infrastruktur, penyediaan air bersih, listrik, belum ada. Bahkan tidak ada sinyal telpon," ujar Emmanuel usai Peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-71 di Kementerian Kesehatan, Rabu (17/8/2016).

Tenaga Kesehatan Jalani Tugas Rangkap
Tak seperti puskesmas di perkotaan yang sudah cukup lengkap dari segi fasilitas, puskesmas dimana ia mengabdi masih belum tersedia tenaga kesehatan yang memadai seperti ahli gizi, maupun ahli kesehatan lingkungan.

"Beberapa perawat dan bidan melakukan tugas merangkap. Ini berpengaruh terhadap profesionalisme. Ada satu orang memegang tiga program yang bukan keahliannya," tambah Emmanuel yang telah mengabdi selama dua tahun di Puskesmas Tanarara ini.

Tentu saja, multiprofesi ini berpengaruh pada kualitas pelayanan yang didapatkan masyarakat setempat. Di satu sisi, tenaga kesehatan harus memberikan pelayanan keperawatan dan kebidanan.

Namun di sisi lain, mereka harus keluar untuk melakukan tugas lapangan seperti memantau kesehatan lingkungan untuk survei gizi balita gizi buruk, ibu hamil, dan akses jamban.

"Secara tidak langsung berpengaruh kepada status kesehatan masyarakat, karena tenaga kesehatannya belum memadai," tambah lelaki kelahiran 1989 ini.

Emmanuel pun menjabarkan masalah kesehatan yang paling banyak terjadi di daerah Sumba Timur. Pertama adalah masih banyaknya masyarakat melakukan persalinan di rumah. Hal ini cukup berisiko, karena tidak dilengkapi perlengkapan bersalin yang memadai dan biasanya tidak ditangani oleh tenaga kesehatan.

"Ini dipengaruhi oleh ketidaktahuan masyarakat. Saya bersama tenaga kesehatan lainnya berusaha memberikan konseling bagi ibu hamil, tapi pada akhirnya dibujuk oleh keluarganya untuk bersalin di rumah," tambahnya.

Tinggi Angka Kematian Ibu
Emmanuel dan tenaga medis lainnya pun berupaya merangkul lintas sektor seperti perangkat desa, tokoh setempat, kader, dan polisi untuk menjemput ibu hamil yang akan melahirkan. Namun pada beberapa kasus, upaya ini tak berhasil karena kuatnya adat istiadat yang dipegang oleh masyarakat setempat.

"Meski belum sepenuhnya berhasil, ada penurunan jumlah persalinan di rumah yakni 19 persalinan dibandingkan 2014, yang mencapai 33 persalinan," lanjutnya lagi.

Dengan pemahaman masyarakat yang masih rendah mengenai proses persalinan di fasilitas kesehatan, hal ini turut berdampak pada angka kematian ibu yang cukup tinggi di Sumba Timur. Sedikitnya 30 ibu meninggal setiap tahunnya saat melahirkan.

Masalah kedua yang dihadapinya saat bertugas di Sumba Timur adalah buruknya sanitasi. Emmanuel masih banyak menemukan keluarga yang buang air besar sembarangan. Padahal kebiasaan BAB sembarangan, lanjut dia, sering dikaitkan dengan risiko penyakit tidak menular seperti diare, cacingan, infeksi saluran pernapasan atas, dan banyak lagi.

Yang memprihatinkan lagi, ungkap Emmanuel, ada beberapa puskesmas yang tidak ada dokternya, terlebih analis lab di puskesmas di kabupaten juga belum ada. "Sangat minimnya akses pelayanan kesehatan inilah yang menjadi penyebab jumlah angka kematian ibu masih tinggi sekitar 30 jiwa per tahun dalam satu kabupaten. Angka Sumba Timur penyumbang terbesar AKI di NTT," bebernya.

Dengan kondisi yang dihadapinya ini, Emmanuel meminta kepada pemerintah agar melakukan pemerataan dalam memperbaiki fasilitas pelayanan kesehatan. Baginya, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dipenuhi di bidang kesehatan, terutama dalam hal pembenahan infrastruktur fasilitas kesehatan.

"Derajat kesehatan Indonesia juga belum sempurna, serta belum meratanya fasilitas kesehatan di daerah perkotaan dan daerah tertinggal. Oleh karena itu, mari bersama sama kita membangun dan mewujudkan Indonesia sehat," tutup lelaki asal Depok ini.


BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI