Meski begitu, rancangan strateginya tidak sama. Porsi tanggung jawabnya berbeda, disesuaikan dengan kualitas dan kuantitas SDM yang dimiliki perguruan tinggi tersebut. Perguruan tinggi pariwisata berstatus sekolah tinggi diarahkan menangani destinasi prioritas yang lebih banyak ketimbang akademi dan politeknik pariwisata (poltekpar).
“Contohnya, STP Bandung. Di sana akan menangani empat ‘Bali baru’, yakni Tanjung Kelayang di Belitung, Tanjung Lesung-Banten, Kota Tua dan Kepuluan Seribu-Jakarta, serta Candi Borobudur di Yogya-Solo-Semarang,” urainya.
STP Nusa Dua Bali juga sama. Menurut Ahman, sekolah pariwisata di Pulau Dewata itu sudah ditugaskan menangani tiga Bali baru, yaitu Bromo Tengger-Semeru di Jawa Timur, Mandalika di Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Labuan Bajo-Pulau Komodo di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Kalau Poltekpar Makassar menangani ‘Bali baru’ Wakatobi di Sulaweri Tenggara dan Morotai di Maluku Utara,” tambahnya.
Tidak semua ‘Bali baru’ terbina, sebab masih ada destinasi-destinasi lain yang belum terjamah. Untuk menyiasatinya, PT lain di luar Kemenpar, yang memiliki jurusan ataupun program studi pariwisata akan dilibatkan. Tugasnya disesuaikan dengan kedekatan lokasi dengan masing-masing ‘Bali baru’.
Menurut Ahman, sertifikasi lulusan PT pariwisata sudah dilakukan di 10 PT, sedangan yang lain akan dilaksanakan pada 2017, setelah lembaga studi pengembangan (LSP) pihak pertama didirikan di PT tersebut.
“Kami terus berpacu dengan waktu. Kami yakin target itu akan terlampaui. LSP pihak pertama sudah didirikan di 5 PT, yakni STP Bandung, Akpar Medan, Unisbank (Sekolah Tinggi Keuangan dan Perbankan) Semarang, STP Sahid, dan STP BI (Bali Internasional)," jelas Ahman.