Suara.com - Bentara Budaya Yogyakarta menggelar pameran seni rupa bertema Eksplorasi Titik karya tujuh anak penyandang difabel yang tergabung dalam Komunitas Perspektif. Pameran digelar hingga 8 Agustus 2016.
Koordinator Komunitas Perspektif Yogyakarta Sri Hartaning Sih melalui keterangan tertulis yang dikirim pengelola Bentara Budaya Yogyakarta kepada Antara di Magelang, Selasa (2/8/2016), mengatakan melalui seni rupa perspektif, mereka mengajak berkehidupan setara bersama difabilitas.
Sebanyak tujuh anak yang mengeksplorasi kemampuan diri melalui seni rupa tersebut, yakni Angger Gagat Raino (7), Maydea (12), Hepi Nafisa Mukholifah (8), Muhammad Haidar Arifin (7), Suryo Putro Legowo (8), Laksmayshita Khanza Larasati Carita (21), dan Okta Mahendra (18).
"Mereka berniat untuk bersama-sama membangun, menyebarkan, menanamkan pola pikir perspektif kesetaraan tentang penyandang disabilitas," katanya.
Sri mengemukakan disadari atau tidak, paham mengenai "kenormalan" telah melekat erat dalam masyarakat. Semua itu terbentuk karena ketidaksadaran kolektif masyarakat. Pandangan semacam itu memosisikan difabel lebih rendah daripada non-difabel.
Kata dia, mereka yang empat anak laki-laki dan tiga perempuan dengan beragam disabilitas itu, mencoba membongkar alam pikiran tersebut melalui kegiatan berseni rupa yang terkesan sederhana, yakni membuat "Titik".
Peserta pameran itu, antara lain penyandang difabilitas mental "retarded", difabel tuli, difabel daksa, dan "slow learner". Mereka ada yang tidak bersekolah, siswa sekolah dasar, dan mahasiswa.
"Di manapun dan dengan media apapun. Sesederhana itu," ujarnya.
Fasilitator Komunitas Perspektif Yogyakarta Moelyono mengatakan setiap anak mempunyai potensi sebagai seniman. Mereka tentu menguasai media seni, sedangkan salah satu pintu masuk menguasai media seni, adalah penguasaan rasa percaya diri.
"Setiap anak bisa menguasai 'Titik' menggunakan anggota bagian tubuh manapun, dengan bahan apapun yang ada dan mudah didapat di sekitar kehidupan mereka," ujar Moelyono yang juga perupa dan pegiat hak asasi manusia itu.
Moelyono menjelaskan tentang karya mereka, antara lain tentang kertas warna-warni dipotong bulat seukuran uang koin lima ratus rupiah, kemudian disusun sedemikian rupa sehingga menghasilkan tentang desain.
Hasil karya mereka, katanya, berupa deretan aneka bentuk dan ukuran namun ritmis, seirama dalam nada dan harmoni, sesuai tekstur serta warna bahan yang digunakan.
Dia menjelaskan setiap anak secara mudah membuat "Titik", misalnya dengan jari tangan, menggunakan pewarna kue lokal, dengan meletakkan dan menyusun bahan apapun di sekitar mereka, seperti kerikil, biji-bijian, kulit telur, daun, kulit kayu, bunga kering, buah, pasir, kerang, kulit tiram, kancing baju, kertas bekas, kain bekas, dan manik-manik.
"Pendampingan orang tua juga merupakan proses bersama demi saling membangun mental. Mereka mengerjakan sesuatu yang bagi awam mungkin sepele," ucapnya.
Pameran mereka di Bentara Budaya Yogyakarta pada 3-8 Agustus 2016 sebagai keempat kalinya diselenggarakan Komunitas Perspektif Yogyakarta yang dibentuk pada Oktober 2014. Pada pameran kali ini, Komunitas Perspektif Yogyakarta bekerja sama dengan Tutti Arts, organisasi seni para difabel terkemuka di Australia. (Antara)