Ada yang berbeda pada rangkaian perayaan Hari Kemerdekaan RI kali ini, pemerintah memilih menggelar pameran "17/71: Goresan Juang Kemerdekaan" di Galeri Nasional, Jakarta Pusat.
Pameran ini memamerkan 28 lukisan serta beberapa benda seni lainnya yang ada di Istana RI dan selama 71 tahun ini tidak pernah dilakukan.
Kini, karya-karya lukisan bersejarah dan tak ternilai harganya dari 20 pelukis dan satu presiden itu dapat dinikmati publik secara gratis.
Memperlihatkan benda-benda istana sama saja dengan menunjukkan keterbukaan istana yang selama ini diyakini hanya milik para pejabat yang berwenang.
Para kurator, yaitu Mikke Santoso dan Rizki A Zaelani membagi pameran itu menjadi tiga bagian, yaitu potret perintis kemerdekaan, situasi masyarakat era revolusi dan kenusantaraan.
"Pada saat mengkurasi, lukisan-lukisan ini kami klasifikasikan dalam empat kelas, kelas A,B,C dan D. Dalam pameran ini, kami memamerkan karya-karya kelas A, yaitu karya para maestro, temanya kuat dan kondisinya rata-rata masih baik," kata Mikke saat membawa para undangan berkeliling Galeri Nasional untuk menikmati lukisan-lukisan tersebut.
Mikke mengatakan istana mengoleksi 2800 lukisan dari sejak zaman prakemerdekaan, dan sebagian besar dari lukisan tersebut dikoleksi oleh presiden pertama Indonesia Sukarno, sementara presiden lain belum memiliki "keintiman" sedalam yang dimiliki Sukarno terhadap dunia seni.
Sementara itu anak Sukarno, Guntur Sukarnaputra pernah mengatakan koleksi lukisan ayahnya mencapai 3000 lukisan. Tetapi lukisan-lukisan tersebut tidak semua milik negara, beberapa menjadi koleksi pribadinya dan beberapa diberikan kepada para teman dan tamunya.
Memang dalam pameran tersebut, hampir semua lukisan datang dari era presiden Sukarno, hanya ada dua lukisan yang ada dari era presiden Suharto.
"Karena memang kebanyakan lukisan di istana milik Sukarno, saya juga diminta oleh panitia untuk memasukkan koleksi dari era presiden lainnya, maka ada dua lukisan dari era Suharto," kata Mikke menjelaskan.
Melihat dari koleksinya, Sukarno memiliki dua kepribadian dalam memilih lukisan, pertama Sukarno sebagai pria yang lebih menyukai lukisan perempuan dan Sukarno sebagai negarawan yang lebih menyukai lukisan yang bertema patriotik dan nasionalis.
Namun beberapa karya-karya yang dikumpulkan Sukarno mengalami penerlantaran, terutama pada era 1967 hingga 1970, sehingga karya-karya tersebut banyak mengalami kerusakan.
"Enggak ada yang mau ngurus, karena kalau mengurus lukisan-lukisan tersebut nanti dicap kekiri-kirian," kata Mikke.
Dia berharap dengan pameran tersebut masyarakat dapat melihat koleksi-koleksi berharga dari istana, mereka akan terbuka hatinya untuk merasa memilki aset seni dan dapat menikmati keindahan karya-karya ini," kata dia.
Lima Lukisan Ikonik Pada pameran itu ada lima lukisan yang menjadi "jagoan" karena dianggap para kurator lukisan-lukisan itu memilki makna yang berlapis-lapis.
Salah satunya dan menjadi lukisan paling tua adalah lukisan tahun 1875 berjudul "Penangkapan Pangeran Diponegoro" oleh Raden Saleh.
Raden Saleh merupakan pelopor seni rupa modern Indonesia, dia melukis gambar tersebut terinspirasi oleh lukisan pelukis Belanda bernama Nicholaas Pienemaan berjudul "Penyerahan Diri Dipo Negoro kepada Letnan Jenderal H.M. de Kock, 28 Maret 1930, yang Mengakhiri Perang Jawa.
Lukisan tersebut dikerjakan Raden Saleh di Belanda dan diserahkan kepada Ratu Belanda, Raden Saleh juga menggambar dirinya dalam lukisan tersebut sebagai seorang saksi penangkapan curang tersebut.
Pada 1978, Pemerintah Belanda memberikan lukisan tersebut kepada Pemerintah Indonesia bersama dengan peristiwa kembalinya sejumlah artefak warisan budaya lainnya.
Lukisan lainnya yang menjadi ikon adalah "Memanah" karya Hendrik Hermanus Joel Ngantung atau yang dikenal dengan nama Henk Ngantung menjadi saksi bisu pembacaan naskah Proklamasi pada 17 Agustus 1945 di Jalang Penggasaan Timur 56, Jakarta Pusat.
"Kalau dilihat dari foto pembacaan teks Prokalmasi, hanya terlihat warna hitam karena resolusi foto rendah, namun sebenarnya di latar foto itu ada lukisan ini ("Memanah")," kata Mikke.
Mikke menyadari bahwa lukisan tersebut menjadi latar dari pembacaan teks Proklamasi setelah melihat video dari jurnalis asing yang berisi konferensi pers perdana tentang pembentukan kabinet pertama di tempat tersebut.
Namun sayangnya, saat ini lukisan tersebut telah rusak, terutama pada bagian sudut kanan atas telah hilang. Lukisan berbahan tripleks tersebut menjadi milik Sukarno pada 1944 setelah melihat pameran Keimin Bunka Sidhoso di Jakarta.
Pada awalnya, Henk tidak memberikan lukisan tersebut karena tangannya belum sempurna, Sukarno pun menawarkan dirinya untuk menjadi model. Sehingga tangan pemanah yang ada dilukisan tersebut adalah gambar tangan Sukarno.
Kemudian ada "Kawan-Kawan Revolusi" (1947) karya S. Sudjojono, lukisan ini diselesaikan pelukisnya hanya dalam waktu satu hari saja, Sudjojono melukisnya ketika dia sedang berada di sanggar Seniman Indonesia Muda (SIM) wilayag Solo.
Lukisan tersebut berisi 19 wajah pahlawan antara lain Bung Dullah, dan ada anak pertamanya Tedja Bayu dan lainnya.
Selain pelukis dari Indonesia, ada pelukis dari luar negeri goresan maestro Meksiko Diego Riviera dengan judul "Gadis Melayu dengan Bunga".
Sepintas, lukisan ini adalah gambar perempuan biasa dengan memegang bunga, namun yang membuat istimewa adalah cara Sukarno merayu presiden Meksiko Lopez agar lukisan tersebut jatuh ketangannya.
Pada awalnya Lopes tak mau memberikan lukisan tersebut, karena lukisan sangat langka dan dilindung udang-undang khsus, namun Sukarno sangat menginginkan lukisan tersebut, hingga entah bagiamana caranya Lopez pun luluh dan memberikan lukisan tersebut kepadanya.
Untuk memberikan lukisan tersebut, Lopez terpaksa mengeluarkan dekrit agar lukisan tersebut dapat keluar dari negara Meksiko.
Pameran Pertama Sukarno "Rini", adalah lukisan ikonik terakhir di pameran tersebut, bagaimana tidak istimewa, lukisan tersebut langsung ditorehkan oleh tangan Sukarno yang seperti dikaruniai bakat dari Dewi Sarasvati.
Salah satu pelukis istana presiden, Dullah menjadi saksi saat Sukarno membuat "perempuan yang tengah duduk menyamping" itu di istana Tampaksiring, Bali.
Awalnya Dullah mencoba membuat lukisan, dia baru saja membuat sketsa yang belum berarti, kemudian dia kembali ke Jakarta dan tidak mengerjakannya lagi.
Hingga pada Nopember sampai Desember 1958 Sukarno kembali ke Bali untuk beristirahat selama 10 hari, dan selama 10 hari itu dia telah menyelesaikan sketsa yang dibuat Dullah, menjelmalah guratan itu menjadi "Rini".
Karya ini merupakan salah satu dari puluhan karya yang dihasilkan oleh Putra Sang Fajar tersebut, sebelum pameran ini Sukarno tidak pernah memamerkan karyanya , maka kali ini menjadi sejarah untuk karyanya tampil di depan publik pertama kalinya. (Antara)