“Sampai sekarang, Pasar Gang Baru menjadi pasar tradisional paling hidup budayanya,” katanya.
Segala masakan yang berbasis Tiongkok pun banyak ditemukan di sini, seperti Leonpia, atau dalam sebutan Jawa dilafal Lumpia. Ada juga kue moci, wingko babad, dan banyak makanan khas yang berasal dari Tiongkok.
“Sekarang penjual dan pembelinya lebih banyak orang Semarang, berbaur dalam satu budaya di sana,” tambah Halim.
Halim juga melihat akulturasi kuat dalam bidang kesenian, seperti liong dan barongsai yang selalu tampil bersama dalam satu panggung dengan Warak Ngendok. Warak merupakan simbol akulturasi, patung binatang berkepala singa (Tiongkok), berleher panjang (Arab), dan bertubuh seperti kambing (Jawa).
Tiga kebudayaan ini mempengaruhi Kota Semarang dengan sangat kental. “Dan itu hanya keluar saat sebelum bulan puasa tiba, diarak dalam sebuah karnaval sampai ke Masjid Alun-Alun Pasar Johar,” kata Halim, yang juga pemilik Sekolah Karang Turi, Semarang itu.
Setiap malam Minggu dan Minggu malam, ada street food sepanjang jalan di Kampung Pecinan, Semarang. Semua jenis makanan ada, dengan rasa original. Tempat makan yang mirip Shihlin (street food) di Taiwan itu sudah hidup sejak lama dan diminati konsumen
“Pintu gerbangnya sudah menggunakan ornamen Tiongkok, sumbangan Kemenpar,” kata Halim.
Budaya Penuh Akulturasi
Sementara itu, Ketua Yayasan Sam Poo Kong, Mulyadi, membenarkan analisa Halim. Menurutnya, akulturasi juga bisa dilihat di Kelenteng Sam Poo Kong. Saat Festival Cheng Ho, yang dipusatkan di kelenteng itu, ribuan manusia akan berjubel di sana.
Sebagian dari mereka datang menonton pertunjukan kolosal di pelataran tinggi di depan kelenteng, dan sebagian lagi berdoa. “Menyatu, saling hormat, saling berbagi, dan semuanya menikmati dengan tertib dan baik,” kata Mulyadi.