Suara.com - Rangkaian perayaan 611 tahun kedatangan Admiral Zheng He, atau yang lebih populer dengan sebutan Laksamana Cheng Ho, diawali diskusi “Fasilitasi Pengembangan Wisata Sejarah dan Religi, Cheng Ho dan Warisan Budaya” di Hotel MG Suit, Jalan Gajah Mada, Semarang, Jawa Tengah (Jateng).
Staf Ahli Bidang Multikultur Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Hary Untoro Drajad, membuka diskusi yang diikuti para budayawan, sejarahwan, pelaku usaha dan industri, akademisi dan unsur pemerintah itu.
“Memahami sejarah Cheng Ho harus kontekstual, penuh pemaknaan, menengok masa lalu, melihat fakta saat ini, dan memproyeksi masa depan. Bukan hanya text book dan literasi saja,” kata Hary, yang didampingi Asisten Deputi (Asdep) Pengembangan Destinasi Wisata Budaya Kemenpar, Lokot Enda.
Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya,pernah menyebut fakta sejarah bisa dikemas menjadi atraksi pariwisata yang menarik, setelah digabungkan dengan artefak, bukti peninggalan zaman purbakala, legenda atau cerita rakyat. Sejarah bisa dikemas dalam sebuah kisah, yang membuat orang terpikat untuk datang.
“Itulah mengapa banyak museum di Eropa yang ramai dikunjungi orang. Cerita soal Manneken Pis di Brussels, patung bocah kecil setinggi 61 centimeter di perempatan jalan Belgia, kaya cerita dan membuat orang tertarik datang melihat sendiri patungnya,” kata menpar, beberapa waktu lalu
Kegiatan napak tilas ini juga diramaikan dengan diskusi. Budayawan, Taufik Rahzen bertutur soal implikasi Cheng Ho dan warisan budaya, Remy Sylado berbicara soal intepretasi jalur Samodera Cheng Ho sebagai daya tarik wisata budaya, dan Harjanto Halim, tokoh komunitas Kopi Semawis, bercerita soal akulturasi budaya Tiongkok Jawa di Kota Semarang.
Petinggi PT Ulam Tiba Halim, produsen minuman, Harjanto Halim, membawa sapu lidi, celana sarung, baju merah bermotif Tiongkok, dan serban Arab dalam acara diskusi. Ketua Komunitas Pecinan Semarang untuk Wisata, atau yang biasa disebut Kopi Semawis itu, mengatakan,
sapu lidi dipakai oleh sekitar 50 orang anggota Kopi Semawis, yang menjadi penyapu di depan arak-arakan Karnaval Cheng Ho dari Kelenteng Tay Kak Sie di Gang Pinggir, ke Kelenteng Sam Poo Kong, di Gedung Batu, Simongan, Semarang.
“Konon, ini punya makna, punya filosofi, untuk membersihkan diri dari segala sengkolo atau hambatan dan persoalan hidup,” ujar Halim.
Halim juga menjelaskan soal Pasar Gang Baru, sebuah pasar tradisional dan tempat favorit di Pecinan, yang direlokasi untuk permukiman orang Tiongkok sejak 1741 oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Dulu, masyarakat di Simongan, dekat Sam Poo Kong, dipindahkan di satu tempat, agar Belanda mudah memantaunya.