Magisnya Pesta Kebudayaan Bernama "Festival Lima Gunung"

Esti Utami Suara.Com
Rabu, 20 Juli 2016 | 07:05 WIB
Magisnya Pesta Kebudayaan Bernama "Festival Lima Gunung"
Pembukaan Festival Lima Gunung (FLG) XV di komplek Candi Gunung Wukir Dusun Canggal, Kadiluwih, Salam, Magelang, Jateng, Selasa (19/7). (Antara/Anis Efizudin)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Pembukaan Festival Lima Gunung XV/2016 dijadikannya momentum refleksi atas nilai-nilai luhur yang telah dibangun oleh nenek moyang bangsa. Mereka seakan hendak mengunggah nilai-nilai luhur yang selama ini terpendam.

Tokoh berwibawa dan kejawen Komunitas Lima Gunung Sitras Anjilin memimpin rangkaian prosesi ritual. Para pelaku prosesi meletakkan berbagai sesaji di bawah yoni di reruntuhan candi utama. Mereka bersemadi selama beberapa saat sebagai tanda berdoa.

Sitras yang juga pemimpin Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang di kawasan Gunung Merapi bersama Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto dan didampingi seorang peziarah selama tiga bulan terakhir di Candi Gunung Wukir, Wijiyanto, tiga kali mengelilingi reruntuhan bangunan utama candi itu.

Pada kesempatan itu, Wijiyanto asal Lumajang, Jawa Timur juga memercikkan air dari tempayan menggunakan janur kepada setiap peserta prosesi ritual yang berkumpul di bawah reruntuhan Candi Gunung Wukir.

Langit cerah di atas bukit dan suasana khidmat menjadikan aura refleksi "Pala Kependhem" terasa merasuk ke batin setiap orang.

Tak ada suara tak perlu yang terdengar, selain tembang doa berbahasa Jawa dilantunkan Sitras dengan iringan lembut musik tiup dan tetabuhan genta serta lonceng yang lirih oleh Kelompok Bohemian Yogyakarta, sesekali mewarnai kekhusyukan prosesi mereka yang berasal dari berbagai latar belakang agama serta kepercayaan.

Tak ada pelantang juga dalam acara takzim itu seakan menjadikan segala gerak, persembahyangan, dan pidato sejumlah tokoh menyatu dalam suasana cerah dan tiupan angin di atas bukit dengan reruntuhan candi yang dikelilingi rerimbun pepohonan.

Penyair yang juga reporter salah satu stasiun televisi lokal, Widodo Setyawan, membacakan karya puisinya berjudul "Demi Sanjaya atas Jawadwipa" dibarengi dengan performa gerak oleh sejumlah penari dengan koreografer Ayu Permata (Yogyakarta), mewarnai peluncuran buku Komunitas Lima Gunung berjudul "Jawadwipa Kependhem".

"'Demi Sanjaya. Kita corat-coret zaman yang usang. Ditinggal kekasih dalam mimpi Jawadwipa makmur akan tambang emas. Jawadwipa kaya akan pangan beras. Ini yang disebut elegi atau ironi? Demi Sanjaya. Kita sembunyikan sadar dalam mata yang berkaca. Kita tak lebih dari pendoa dengan naluri yang iba. Terkubur terpendam dalam kemasyhuran Jawadwipa'," begitu dua di antara 12 bait syair dibaca Widodo dengan lantang seakan merefleksikan nilai dalam tema "Pala Kependhem".

Tentang apresiasi atas pembukaan festival di candi itu, diungkapkan oleh Ketua Kelompok Kerja Publikasi dan Pemanfaatan Cagar Budaya Balai Peninggalan Cagar Budaya Jawa Tengah Wahyu Kristanto.

"Mereka telah turut melestarikan cagar budaya ini. Pelestarian candi tidak hanya fisiknya, tetapi juga nilai-nilai di dalamnya melalui kegiatan kebudayaan ini," ujarnya.

Pembukaan festival juga ditandai dengan pidato dari sejumlah tokoh, antara lain Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Magelang Edy Susanto, mantan Direktur Utama PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko Laily Prihatiningtyas, pemuka warga Dusun Carikan Suhono, dan Direktur Borobudur Writers and Cultural Festival Yoke Darmawan.

Budayawan Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut berulang kali menegaskan tentang luar biasanya kandungan makna kehidupan bersama masyarakat yang terpendam di Candi Gunung Wukir dengan Prasasti Canggalnya.

Pelestarian atas nilai-nilai kebudayaan seperti halnya melalui situs cagar budaya Candi Gunung Wukir, ujarnya, menjadi persoalan penting seiring dengan kemajuan zaman.

"Ini situs (Candi Gunung Wukir, red.) yang luar biasa, bahkan dibangun sebelum Candi Borobudur (sekitar abad ke-8, red.) dan Candi Prambanan (sekitar abad ke-9, red.). Jadi, nenek moyang kita dahulu bekerja keras lalu makmur dahulu, dan kemudian membangun situs peradaban besar," katanya.

Ia menyebut nenek moyang bangsa dengan otaknya yang cerdas dan masyarakat hidup makmur terlebih dahulu, ditunjukan melalui pembangunan Candi Gunung Wukir, lalu membangun Candi Borobudur yang agung itu.

"Komunitas Lima Gunung ingin mengajak siapa saja untuk belajar bersama, merawat peradaban cerdas. Ini situs luar biasa, otaknya Candi Borobudur dan Prambanan. Ada kecerdasan yang berjalan di dalam tanah, terpendam," katanya.

Setiap generasi menerima dan merawat warisan dari leluhurnya yang cerdas dan setiap generasi pula seharusnya membuat warisan budaya yang cerdas untuk penerusnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI