Di Terminal Hujan, Mereka Merenda Harapan

Sabtu, 02 Juli 2016 | 15:07 WIB
Di Terminal Hujan, Mereka Merenda Harapan
Komunitas Terminal Hujan. (suara.com/Komunitas Terminal Hujan)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Mendapatkan pendidikan yang baik dan layak adalah hak setiap warga negara, tak terkecuali pada masyarakat pra sejahtera. Namun, pada kenyataannya masih banyak anak yang tidak mengenyam pendidikan karena alasan ekonomi.

Masih banyak anak yang tak bisa bersekolah, karena harus membantu orang tuanya mencari uang.

Alasan ekonomi membuat banyak orang tua, yang  'mengabaikan' pendidikan anak-anaknya. Akibatnya banyak anak menghadapi berbagai masalah, seperti kesulitan membaca, berhitung, hingga malas belajar.

Ironisnya kondisi ini juga terjadi di kota-kota besar. Salah satunya ialah masyarakat yang tinggal di bantaran sungai belakang terminal bus Baranangsiang (Kampung Kebon Jukut), Bogor, Jawa Barat.

Hal lebih mengerikan juga kerap dialami oleh anak-anak di sekitar Kampung Kebon Jukut. Menjadi anak jalanan untuk mengamen, tawuran, bahkan drop out dari sekolah pun cukup tinggi.

Inilah yang melatarbelakangi terbentuknya komunitas Terminal Hujan (TH).

Adalah Anggun Pesona Intan yang berada di balik komunitas yang terbentuk pada 12 Juni 2011 ini. Terminal Hujan berfokus pada pendidikan dan pemberdayaan ekonomi orang tua, yang tinggal di bantaran sungai belakang terminal bus Baranangsiang (Kampung Kebon Jukut).

"Setelah melihat keadaan yang cukup memprihatinkan di Kampung Kebon Jukut, maka Anggun bersama dua temannya, Sela dan Mario bekerja sama dengan drg. Wan Aisyah, mantan ketua Dinkes Kota Bogor menyusun sebuah kurikulum dan rumah bimbingan," cerita Haqi Fadillah, Ketua Komunitas TH.

Menurut Haqi, saat itu kemampuan baca, tulis, dan hitung adalah hal yang menjadi prioritas. Akhirnya, disepakati bahwa kegiatan TH rutin diadakan setiap hari Minggu dari pukul 09.00-12.00 WIB dengan agenda belajar mengajar, ekstrakulikuler, outing, dan lain sebagainya.

Lantas, mengapa namanya Terminal Hujan? Nama ini, kata dia diambil karena ketiadaan tempat untuk berteduh dalam kegiatan belajar mengajar, yang menyebabkan mereka harus berpindah-pindah dan belajar di alam terbuka, seperti di lapangan, trotoar, sampai halaman kantor kelurahan.

"Inilah yang membuat komunitas ini dinamakan Terminal Hujan, karena terletak di belakang Terminal Baranangsiang dan jika hujan datang, kami harus bubar," ungkapnya.

Dengan mengajak lebih banyak relawan, yang awalnya terdiri dari sahabat-sahabat Anggun, Mario, dan Sela, TH sedikit demi sedikit berhasil mengumpulkan lebih banyak anak. Awalnya, anak-anak yang mengikuti kegiatan TH setiap Minggu hanya berjumlah 30-40 orang. Seiring berjalannya waktu, saat ini meningkat menjadi 80 orang.

Dahulu, lanjut Haqi, setiap kegiatan belajar akan dimulai, para relawan harus menjemput anak-anak satu persatu ke setiap rumah mereka. Namun, saat ini sebelum acara belajar dimulai, mereka sudah semangat menunggu di halaman kantor kelurahan Baranangsiang, tempat kegiatan belajar mengajar dilaksanakan pada saat ini.

Setelah empat tahun perjalanannya, Terminal Hujan tidak hanya memfokuskan perhatian pada pendidikan anak-anak saja, tetapi juga melebarkan sayap ke pemberdayaan ekonomi untuk ibu-ibu, dengan cara membuat pelatihan dan produksi barang-barang bekas menjadi barang bermanfaat dan memiliki nilai jual.

Selain itu juga, membudayakan menabung di setiap minggunya. Hal ini dilakukan dengan tujuan melatih ibu-ibu menyusun keuangan rumah tangga yang lebih baik dan membantu perekonomian mereka.

Selama perjalanannya sejak Juni 2011, TH selalu berupaya untuk menjadi sahabat dan pendamping belajar bagi anak-anak di perkampungan sekitar Terminal Bus Baranangsiang, Bogor.

Berbagai prestasi dan penghargaan telah berhasil diraih. SEbut saja keberhasilan belasan murid TH lolos ke semifinal Olimpiade Sains Kuark 2014 untuk wilayah Bogor.

"Dengan berbagai prestasi dan penghargaan tersebut tidak menjadikan kami berpuas diri, tetapi kami akan terus memberikan yang terbaik untuk 'mewarnai langit' anak-anak di perkampungan sekitar Terminal Bus Baranangsiang, umumnya untuk kota kami tercinta, Bogor," kata Haqi.

Bagi kamu yang tertarik untuk berbagi pada sesama atau senang dengan kegiatan mengajar, komunitas ini sangat terbuka. Bahkan hingga saat ini, jumlah relawan terus meningkat, tak hanya berasal dari kota Bogor saja, tapi juga Jakarta hingga Cikarang.

Haqi menjelaskan bahwa anggota TH saat ini dibagi menjadi dua, yakni pengajar tetap dan relawan. Pengajar tetap itu adalah pengurus TH yang saat ini jumlahnya ada sekitar 30 orang, sementara untuk relawan sudah lebih banyak, yakni lebih dari 50 orang.

"Setiap minggunya kami sounding via sosmed, mengajak masyarakat untuk ikut serta mengajar di TH. Untuk kepengurusan saat ini, kami akan menarik volunteer yang aktif mengajar di TH. Kalau dulu TH sounding hanya untuk ikut mengajar, ke depannya, TH akan membuat sistem perekrutan dengan mengajak masyarakat untuk ikut serta aktif di kepengurusan melalui sistem seleksi," kata dia lebih lanjut.

Ke depannya, Haqi berharap jika TH berbentuk sebagai badan hukum dengan menjadi yayasan agar bisa lebih profesional dalam menjalankan programnya dan bisa lebih dipercaya oleh masyarakat apabila ada yang ingin berdonasi. Tak hanya itu, TH berharap bahwa semakin banyak anak-anak yang yang datang dan rajin ikut belajar sehingga tidak ada satu pun anak yang putus sekolah.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI