Suara.com - Rumah Betang, mungkin Anda pernah mendengarnya. Rumah tradisional masyarakat suku Dayak ini banyak ditemukan di pedalaman Kalimantan. Rumah ini terbuat dari kayu ulin baik lantai, atap maupun dindingnya.
Di masa lalu hingga sekarang, rumah Betang menjadi pusat kegiatan masyarakat Dayak. Di sini, warga bermukim sekaligus menggelar berbagai kegiatan adat. Dulu, satu rumah betang kadang ditempati hingga 60 kepala keluarga. Pembagian tempat tiap keluarga, didasarkan pada sekat-sekat yang menyerupai kamar di dalam rumah betang ini.
Struktur rumah ini memiliki kayu penyangga di bagian bawah rumah dengan ukuran yang sangat besar. Karena bentuknya yang memanjang, maka tak jarang banyak yang menyebutnya rumah panjang.
Tiang penyangga, biasanya memiliki tinggi sekitar dua meter, sehingga kolongnya bisa dilewati tanpa harus menunduk kepala. Bentuk rumah panggung ini merupakan adaptasi dari kondisi lingkungan yang berada di hulu sungai. Sehingga ketika air sungai meluap, isi rumah tidak kebanjiran.
Rumah Betang haruslah menghadap timur di bagian hulunya dan menghadap barat untuk bagian hilir, karena melambangkan kerja keras masyarakat dayak yang bekerja sejak matahari terbit dan kembali ke rumah betang saat matahari terbenam untuk beristirahat.
Di rumah ini juga dibuat sebuah tempat seperti aula yang menjadi tempat pertemuan para penghuni rumah betang. Tempat ini digunakan untuk aktifitas para penduduk, mulai dari menganyam, bercengkrama dan kegiatan lainnya.
Di aula ini jugalah dilaksanakannya beragam kegiatan dan acara adat suku dayak. Di hampir tiap bagian dinding di rumah ini bisa kita lihat lukisan khas suku dayak yang sangat indah.
Sayang, tak semua rumah Betang kini terawat dengan baik. Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kecamatan Sungai Ambawang, Nasution meminta Pemerintah Kabupaten Kubu Raya lebih memperhatikan aset budaya seperti rumah Betang yang ada di Desa Lingga Kecamatan Sungai Ambawang .
"Sejak tahun 2002 hingga sekarang Rumah Betang ini belum dilakukan rehabilitasi total. Kalaupun ada rehab seadanya dan menggunakan dana swadaya masyarakat," kata Nasution di Sungai Raya, Senin (16/5/2016).
Dia menjelaskan, rumah adat masyarakat dayak dengan luas sekitar 720 meter persegi itu dibangun sejak 1991. Saat itu, selain menggunakan APBD Pemerintah Kabupaten Pontianak, pembangunan rumah ini juga menggunakan dana swadaya masyarakat setempat.
Hingga 2002 pemerintah daerah setempat masih memberikan alokasi anggaran untuk biaya rehabilitasi.
"Namun setelah 2002 secara bertahap perhatian pemerintah kian berkurang, terakhir ada biaya rehab pada 2012 namun hanya memperbaiki kerusakan kecil saja. Sementara saat ini sudah cukup banyak dinding dan lantai rumah radank yang perlu diperbaiki," katanya.
Karena rumah Betang tersebut tidak hanya digunakan untuk keperluan masyarakat adat dayak, Nasution berharap ke depan Pemerintah Kabupaten Kubu Raya bisa menyisihkan anggaran untuk biaya perbaikan termasuk pemeliharaan salah satu aset budaya yang ada di Kubu Raya tersebut.
"Selain acara adat, Rumah Betang ini juga digunakan untuk kepentingan masyarakat umum lainnya, seperti balai pertemuan masyarakat, pusat beberapa kegiatan seni, budaya, sosial bagi masyarakat luas," tuturnya.
Untuk memberdayakan aset budaya yang ada, rencananya jika Rumah Betang tersebut diperbaiki secara maksimal, pihaknya akan merangkul sejumlah paguyuban lain di Kubu Raya untuk menggelar pentas kesenian budaya. (Antara)
Mengenal Rumah Betang, Warisan Budaya Masyarakat Dayak
Esti Utami Suara.Com
Rabu, 18 Mei 2016 | 14:01 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
Dinas Sosial Bogor 'Biarin' Korban Bencana, Pegawai Jalan-jalan ke Bali Pakai Anggaran Rp900 Juta?
14 November 2024 | 23:34 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI
Lifestyle | 08:51 WIB
Lifestyle | 08:15 WIB
Lifestyle | 07:10 WIB
Lifestyle | 06:15 WIB
Lifestyle | 21:10 WIB