Berawal dari meneliti kondisi hutan di Pulau Kalimantan, Jusupta Tarigan lalu jatuh cinta pada budaya masyarakat dayak, penduduk asli Kalimantan.
Tak heran, saat berbincang dengan suara.com di sela gelaran Inacraft 2016 pekan lalu, sarjana kehutanan lulusan Institut Pertanian Bogor ini tak hanya fasih berbicara soal tanaman di Kalimantan yang terancam punah, tapi juga tentang kebiasaan warga di sejumlah daerah di sana.
Dengan lancar, laki-laki berdarah Batak ini menceritakan hasil kerajinan masyarakat Dayak yang mendiami empat wilayah di pulau Borneo yang coba diangkat Borneo Chic untuk dikenalkan ke pasar dunia.
Sebagai Business Manager Borneo Chic, Jusupta memang bertanggung jawab untuk mengangkat berbagai kerajinan tradisional Dayak seperti anyaman anjat dan korit dari bahan rotan, tenun ikat Sintan serta tikar bemban atau ulap doyo menjadi produk mode yang berkelas.
Ini bukanlah tugas yang mudah, mengingat kerajinan-kerajinan itu merupakan maha karya dari para pengrajin tradisional Dayak yang menyimpan filosofi tinggi. Sehingga saat mengembangkannya, Jusupta harus tetap dalam koridor, agar tak merusak makna yang dikandungnya.
"Di masa lalu, ketrampilan menenun atau menganyam jadi ukuran untuk menilai perempuan. Dan untuk mendapatkan ketrampilan itu, bukanlah hal yang gampang," ujar laki-laki yang mengaku suka berpetualang ini.
Ia mencontohkan di sebagian daerah, ada ritual yang harus dijalani seorang perempuan untuk memulai maha karyanya. Untuk membuat sehelai kain tenun dengan pewarna alami misalnya, seorang pengrajin harus melewati 20 tahapan yang memakan waktu hingga berminggu-minggu lamanya. Bahkan, motif yang akan dibuatnya kadang hadir lewat mimpi yang dipercaya sebagai petunjuk dari para leluhur.
Seiring dengan perjalanan waktu, kerajinan ini mulai ditinggalkan dan bahkan terancam hilang. Selain akibat berkurangnya kawasan hutan akibat penebangan dan ekspansi kebun sawit, kondisi ini juga akibat dari minimnya apresiasi dan penghargaan atas seni budaya warga Dayak.
Melalui Borneo Chic, lanjut Jusup, masyarakat tak hanya diajak untuk melestarikan kerajinan tradisional, namun juga coba diyakinkan bahwa menjaga kelestarian hutan berarti menjaga sumber kehidupan mereka.
Bahu membahu bersama masyarakat setempat, empat lembaga swadaya sosial lantas mengolah kerajinan anjat (Dayak Benuak/Kutai Barat) dan korit (masyarakat Dayak Bisamu/Sanggau) yang berbahan rotan, serta bemban (kerajinan warga Dayak Bisamu dan dayak Iban) yang berbahan rumput liar yang banyak di pinggiran danau sentarum serta tenun Sintang produksi Dayak Desa menjadi produk fesyen yang disukai pasar.
"Dengan menyadari bahwa hutan membawa hal positif bagi penghidupan mereka, maka mereka juga termotivasi untuk menjaganya," katanya sambil menambahkan, sebagian besar dari lebih dari 400 pengrajin yang dirangkul Borneo Chic adalah adalah perempuan yang tinggal di sekitar hutan Kalimantan.
Bapak dua anak ini mengisahkan kecintaannya pada budaya Dayak berawal saat ia masih duduk di bangku kuliah. Sebagai mahasiswa Fakultas Kehutanan, ia sering terlibat penelitian tentang hutan di Kalimantan.
Kecintaan ini makin mendalam, setelah ia bekerja sebagai staf penelitian di Center for International for Forest Research (CIFOR). Selama tujuh tahun ia menggeluti kehidupan masyarakat yang tingal di sekitar hutan di Kabupaten Kutai Barat dan Pasir, Kalimantan Timur.
"Dari sana saya lihat bagaimana warga kian tergusur, hutan tempat mereka mencari hidup terus ditebang sehingga warga kehilangan mata pencahariannya," ujarnya.
Berangkat dari keprihatinan ini Jusupta dan beberapa rekannya dari empat lembaga swadaya masyarakat yang melakukan pendampingan di sejumlah wilayah Kalimantan mendirikan Kalimantan Craft pada 2008.
Lima LSM itu adalah Non-Timber Forest Product- Exchange Programme for South and Southeast Asia (NTFP-EP), Riak Bumi, Yayasan Dian Tama, Koperasi Jasa Menenun Mandiri dan Yayasan Petak Danum.
Crafts Kalimantan bermaksud meningkatkan produk hutan non kayu, untuk menjaga kelestarian hutan Kalimantan sekaligus meningkatkan kesejahteraan setempat tanpa meninggalkan budaya dan tradisi mereka.
"Semua LSM yang tergabung dalam jaringan Craft Kalimantan ini coba juga menginisiasi untuk membuat produk yang tidak berbahan dasar kayu," terang laki-laki yang menghabiskan masa kecil di Binanga, Sumatera Utara ini.
Pada awalnya, Crafts Kalimantan fokus pada produk-produk kerajinan tangan seperti anyaman rotan dan tenun. Kerajinan khas Kalimantan ini dikembangkan menjadi produk fesyen seperti tas, dompet, clutch dengan desain modern.
Namun, belakangan mereka juga mengembangkan madu dari Kalimantan untuk produk kecantikan. Dan kini mereka tengah mengembangkan produk busana dari tenun Sintang.
Lantas pada 2012, dengan bantuan seorang konsultan pemasaran Craft Kalimantan berganti nama menjadi Borneo Chic untuk memperluas jaringan di luar negeri.
"Namun, hingga kini kami belum melakukan ekspor langsung karena memang belum sanggup memproduksi secara massal. Inikarena produk kita benar-benar buatan tangan dan materialnya terbatas," ungkap Jusupta
Meski demikian, tak sedikit warga asing yang menjadi penggemar fanatik produk Borneo Chic. Bahkan tak jarang mereka memborong produk Borneo Chic untuk dijual kembali di negara mereka. Komunitas ekspatriat yang sangat menghargai produk-produk kerajinan tangan memang jadi konsumen utama Borneo Chic selain juga para diplomat yang menjadi 'duta' produk tradisional Indonesia.
"Harapan kami akan semakin banyak orang yang memahami produk-produk kita dengan cerita di baliknya, yakni tentang tradisi warga Dayak" ujarnya.