Suara.com - Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI Lukmanul Hakim mengatakan konsumsi produk halal dan pemanfaatan produk/jasa yang sesuai dengan kaidah syariah terus meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini juga terjadi di sektor pariwisata, di mana permintaan akan wisata yang halal terus meningkat.
Menurut dia itu semua menunjukkan industri maupun bisnis dengan kaidah syariah memiliki prospek dan progres sekaligus menjadi 'selling point' yang menjanjikan. Dalam kaitan itu konotasi negatif yang lekat dengan industri pariwisata perlu dihilangkan dan menggantinya dengan hal-hal yang positif.
Tujuan wisata itu di antaranya adalah untuk menyegarkan kondisi rohani, jasmani maupun pikiran. Karena itu, sebagai negara yang mayoritasnya beragama Islam, Indonesia berpotensi mengembangkan hal ini untuk menarik lebih banyak kunjungan Wisman.
"Karena itu istilah tiga S, yakni 'sun', 'sand' and 'sex' atau matahari, pasir dan seks harus diperbaiki menjadi shalat, 'shihah' and 'shariah base," ujarnya beberapa waktu lalu.
Sementara Ketua Komite Syariah World Halal Food Council (WHFC) Asrorun Ni'am Soleh mengatakan, produk halal Indonesia terancam kalah bersaing jika pemerintah dan masyarakat tidak segera berbenah untuk meningkatkan daya saing produk.
"Di tengah kemudahan lalu lintas barang dan jasa di ASEAN saat MEA, Indonesia bakal dibanjiri produk halal tidak hanya dari Indonesia tapi juga dari negara seperti Malaysia, Singapura dan Thailand," kata Ni'am di acara "Strategi Merebut MEA dengan Produk Halal" yang digelar, di Jakarta akhir tahun lalu.
Ni'am memperkirakan serbuan produk halal itu akan terjadi saat Masyarakat Ekonomi ASEAN diterapkan Januari 2016. Untuk itu perlu kesigapan Indonesia baik dari unsur pemerintah ataupun masyarakatnya.
Produk halal, kata dia, sangat diminati masyarakat Indonesia. Maka perebutan pangsa pasar produk halal tidak hanya dilakukan internal dunia usaha Indonesia tapi lintas negara ASEAN.
Menurut dia, pelaku usaha Indonesia masih kalah sigap dari pengusaha negara tetangga dengan adanya pasar bebas di ASEAN. Salah satu tolok ukurnya, banyak produk Indonesia yang belum memiliki sertifikat halal.
Sebagian besar penduduk Indonesia atau 87 persen, merupakan Muslim sehingga produk halal akan memiliki segmen pasar tersendiri. Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta, kata dia, dapat menjadi potensi pasar produk halal sekaligus ancaman jika produk lokal tidak mampu berkompetisi.
Ni'am menilai, pelaku usaha dan pemerintah negara ASEAN, seperti Thailand, Vietnam, Singapura apalagi Malaysia sangat memperhatikan kepentingan konsumen. Khususnya dalam memasarkan produk makanan, minuman, jasa dan barang dengan jaminan produk halal.
"Kata siapa negara seperti Thailand tidak memperhatikan kehalalan produknya? Justru negara ini lebih memprioritaskan kehalalan produk yang akan dijualnya," kata dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah mengatakan produk halal di Indonesia belum menjadi prioritas. Ini karena kesadaran dari unsur pelaku usaha dan masyarakat relatif masih kurang.
Unsur penting lain dari produk halal, lanjut dia, adalah kehadiran pemerintah dalam membantu pelaku usaha dengan kebijakan yang memicu peningkatan kualitas produk dari pelaku usaha nasional.
"Seyogyanya infrastruktur industri halal sudah disiapkan sejak Indonesia menandatangani Konferensi MEA di Bali tahun 2003. Tapi sampai waktunya tiba pemerintah baru menyiapkan himbauan dan harapan," kata dia.
Dalam mengatisipasi keterlambatan itu, dia menyarankan, pemerintah mengetatkan peraturan produk halal.
"Dengan produk halal, maka menjadi modal utama melindungi pasar kita yang besar. Dengan andalan regulasi yang cukup yakni Undang-undang Jaminan Produk Halal maka produk anggota MEA yang masuk di Indonesia wajib bersertifikat halal dan harus diterapkan nol toleransi demi melindungi pelaku usaha dan UKM kita yang kurang berdaya," katanya. (Antara)