Suara.com - Jika ingin menikmati suasana alam seperti film Jurassic Park, datanglah ke Ciletuh Geopark atau Geopark Ciletuh, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Suasana zaman baheula akan terasa melalui "amphitheater" alam berbentuk tapal kuda.
Di bagian atas, terpampang tebing alam dengan sejumlah air terjun dan di bagian bawah pantai selatan Jawa Barat, bebatuan di kawasan itu diperkirakan berusia 65 juta tahun.
Pengertian geopark sendiri yakni taman bumi dengan konsep manajemen kawasan wisata secara berkelanjutan dengan memadukan tiga keragaman alam, geologi dan geomorfologi (Geodiversity), keragaman geologi nilai ilmiah (Geoheritage), serta konservasi Geodiversity (Geoconservation).
Geopark Ciletuh sudah masuk ke dalam geopark nasional sejak November 2015. Hingga posisinya setara dengan geopark nasional lainnya seperti Pegunungan Sewu sepanjang Provinsi Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur, Merangin Jambi, Gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat, Danau Toba, Sumatera Utara dan Gunung Batur, Bali. Ditargetkan pada Desember 2017 Geopark Ciletuh masuk dalam geopark dunia atau Global Geopark Network (GGN).
"Di Indonesia saat ini ada 6 geopark, 4 di antaranya geopark nasional dan 2 sudah menjadi geopark internasional. Yang sudah menjadi geopark internasional adalah Gunung Batur di Bali dan Gunung Sewu," kata Kepala Puslit dan Kebencanaan Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Unpad, Prof. Mega Fatimah Rosana, saat pelepasan "21 Kartini Goes to Ciletuh Geopark".
Meski demikian, ia menegaskan, upaya meraih status geopark internasional ini bukanlah tujuan akhir dari keterlibatan Unpad dalam memperkenalkan kawasan Ciletuh.
Pesona Geopark Ciletuh itu terasa saat mengikuti perjalanan bersama "21 Kartini Goes To Ciletuh Geopark" yang merupakan kerja sama antara Pusat Penelitian dan Kebencanaan Universitas Padjadjaran bekerja sama Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Rasa lelah setelah enam jam berkendara dari Kota Bandung menuju kawasan geopark yang berada di Sukabumi selatan itu, terbayar sudah ketika melihat bentangan alam nan ciamik dari Tebing Panenjoan.
Tebing Panenjoan --bahasa Sunda, pemantauan-- bisa dikatakan sebagai pintu gerbang untuk mengikuti frame demi frame pemandangan geopark. Lokasinya yang berada di ketinggian 342 meter di atas permukaan laut (MdPL), memudahkan pandangan mata melihat bentangan alam yang berbentuk tapal kuda.
Dari atas bukit itu, terpampang hamparan sawah dan rumah penduduk yang diapit punggung bukit dan pandangan mata berakhir pada pantai yang memanjang dengan air kebiruan dari laut Samudera Hindia. Untuk merasakan amphitheater alam, bisa turun ke hamparan sawah itu.
Di tengah-tengah hamparan sawah benar-benar bisa melihat suasana zaman dahulu dengan tebing-tebing alam yang melingkari dengan kelap kelip air terjun yang terkena sinar matahari.
Setelah puas menyaksikan atraksi alam itu, sajian berikutnya adalah Curug Awang --Curug (Bahasa Sunda), air terjun-- yang bisa dikatakan "Niagara" mini dengan ketinggian sekitar 40 meter membentang selebar sungai yang berukuran sekitar 60 meter. Dari kejauhan curug ini memang terlihat indah berbeda halnya dengan air terjun yang ada di tanah air.
Air yang bening jatuh ke bawah dan ditampung menyerupai danau kecil yang aliran sungai itu membentuk kembali sejumlah air terjun. Untuk mencapai dasar curug itu, memerlukan kehati-hatian mengingat medan yang curam serta minimnya prasarana pengaman seperti tali untuk pegangan tangan.
Curug Sodong lebih akrab bagi warga setempat dikenal dengan nama Curug Kembar dimana ada dua curug yang berdekatan hingga menyerupai pasangan. Dan tepat di atasnya terdapat Curug Cikanteh. Tebing curug ini memang luar biasa memberikan keeksotikan alam yang berbeda.
Terkadang jika yang tengah beruntung akan bisa menyaksikan pelangi tepat di atas curug tersebut hingga menyerupai lanskap alam yang luar biasa.
Untuk bermalam, tim srikandi itu menikmati suasana tepian pantai dengan menikmati sajian makanan khas laut yang ikannya berasal dari nelayan setempat. Jika kurang puas dengan sajian ikan yang ada, bisa mendatangi tempat pelelangan ikan dengan memilih binatang laut sesuai selera kita.
Lokasi berikutnya yang akan dikunjungi, yakni, Puncak Dharma yang menyerupai bukit dengan ketinggian 357 MdPL. Untuk mencapai puncak itu, harus berjalan kaki di jalanan berbatu sekitar 45 menit. Lumayan untuk mengurangi kalori di dalam tubuh.
Dari bukit tersebut, terpampang kembali bentangan alam dari pantai sampai hamparan sawah milik penduduk serta rumah-rumah penduduk yang mirip noktah di tengah kehijauan areal persawahan. Bukit Panenjoan pun bisa terlihat dari Puncak Dharma.
Setelah puas berada di Puncak Dharma, langkah kakipun menuju Curug Cimarinjung yang memiliki ketinggian sekitar 100 meter dengan tebing-tebing alam berwarna kecokelatan dan hitam.
Air yang terkena angin pun menerpa wajah hingga memberikan nuansa yang berbeda antara kengerian bercampur kekaguman. Untuk mencapai Curug Cimarinjung itu, langkah kaki harus menapaki jalan setapak yang di kanannya berupa irigasi. Paling tidak membutuhkan waktu kurang lebih sekitar 15 menit. (Antara)