Tempat Perayaan Peh Cun yang Berubah Jadi Sarang Prostitusi

Selasa, 23 Februari 2016 | 07:24 WIB
Tempat Perayaan Peh Cun yang Berubah Jadi Sarang Prostitusi
Kafe Sari Ayu (hijau) yang berada di kawasan Kalijodo, Jalan Kepanduan II, Penjaringan, Jakarta Utara. [Suara.com/Dwi Bowo Raharjo]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Nama Kalijodo mendadak tenar setelah peristiwa nahas yang menyebabkan empat orang tewas ditabrak  pengendara Toyota Fortuner yang ugal-ugalan, beberapa waktu lalu. Tak hanya itu, belakangan juga diketahui sang pengendara baru saja mabuk-mabukan bersama teman-temannya di kawasan Kalijodo.

Kecelakaan maut itu pun mengungkap bahwa praktik prostitusi di Kalijodo  masih terjadi. Padahal, kata Sejarawan Ridwan Saidi, kawasan Kalijodo yang dulunya dikenal Kali Angke merupakan tempat yang kerap dijadikan sebagai pusat perayaan lomba mendayung perahu masyarakat etnis Tionghoa (Peh Cun) sejak 1950an.

Perayaan Peh Cun yang juga dimanfaatkan sebagai ajang mencari jodoh muda-mudi etnis Tionghoa ini, menurut Ridwan, sangat jauh dari hal-hal negatif, karena muda-mudi yang mencari jodoh memang orang baik-baik.

Sayangnya, tradisi etnis Tionghoa ini, kata Ridwan, pada 1958 dihentikan oleh Walikota Jakarta yang kala itu dijabat oleh Sudiro, tanpa alasan yang jelas.

"Dihentikannya tidak jelas alasannya, cuman dikatakan bahwa perayaan Imlek tidak boleh lagi dirayakan di ruang publik sehingga hanya dirayakan di rumah-rumah saja," bebernya kepada Suara.com.

Kalijodo, Riwayatmu Kini (I): Dulunya Tempat Mencari Jodoh Saat Perayaan Peh Cun

Sejak itulah Kali Angke yang tak berpenghuni lambat laun berubah fungsi menjadi tempat transit para perempuan dari luar Jakarta untuk mengadu nasib di Ibu Kota.

"Mulai 1960 muncul gubuk-gubuk liar. Padahal kawasan tersebut mulanya tidak ada hunian karena memang tidak boleh, karen sebelumnya hanya untuk pusat perayaan Peh Cun," ungkapnya.

Hingga akhirnya pada 1963, kenang Ridwan, semakin banyak penduduk yang berasal dari luar Jakarta bermukim di kawasan tersebut. Agar bisa bertahan hidup di Jakarta, para perempuan pendatang yang tak memiliki kemampuan apapun ini akhirnya berani menjual kehormatannya demi sesuap nasi.

"Jadi mulai ada praktik prostitusi sejak 1963. Mereka mau cari makan nggak tahu apa yang dijual, ya akhirnya jual kehormatannya. Dulu kan susah cari uang, karena zaman orde lama," ujarnya merinci.

Dalam perkembangannya, gubuk-gubuk liar yang awalnya semi permanen kemudian berubah menjadi kafe-kafe dengan bangunan yang kokoh berdiri. Pengunjung yang datang pun tak lagi muda-mudi yang serius mencari jodoh, melainkan perempuan-perempuan yang menjajakan diri, yang membuat kawasan ini dikenal sebagai kawasan prostitusi hingga sekarang.

Lantas, apa pendapat Ridwan Saidi setelah kawasan hiburan malam Kalijodo ini ditertibkan alias ditutup? Simak penuturannya di artikel selanjutnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI