Suara.com - Pemberitaan tentang penggusuran kawasan hiburan malam Kalijodo menjadi topik hangat Ibu Kota dalam beberapa pekan belakangan ini.
Kawasan yang berada di Jalan Kepanduan II, Kelurahan Pejagalan, Jakarta Utara ini, telah lama dikenal sebagai tempat praktik prostitusi.
Yang menarik, nama Kalijodo ternyata memiliki makna dan sejarah yang erat kaitannya dengan masyarakat etnis Tionghoa, dan sangat jauh dari hal-hal yang berbau negatif.Lantas, bagaimana ceritanya daerah tersebut kemudian dikenal sebagai kawasan hiburan malam?
Sejarawan Ridwan Saidi mengatakan bahwa awalnya kali tersebut dikenal sebagai Kali Angke. Namun, karena sering dimanfaatkan masyarakat etnis Tionghoa sebagai tempat untuk mencari jodoh setiap kali menggelar lomba mendayung perahu -- yang dalam tradisi Imlek disebut Peh Cun, akhirnya kali itu lebih dikenal dengan sebutan Kalijodo.
"Kali yang artinya sungai dan 'jodo' yang artinya jodoh, sejak itulah masyarakat sering menyebutnya Kalijodo," terangnya kepada Suara.com, belum lama ini.
Lebih lanjut Ridwan menjelaskan bahwa dahulu kala etnis Tionghoa senang memilih kali itu untuk dijadikan tempat perayaan Peh Cun, karena airnya jernih dan jauh dari pemukiman penduduk.
Tradisi Peh Cun kala itu, merupakan pesta air yang banyak diikuti muda-mudi. Para perempuan, kata Ridwan, menaiki perahu yang berbeda dengan para lelaki. Setelah didayung,perahu mereka akan saling berkejaran melintasi sepanjang kali.
Jika ada salah satu perempuan yang disukai, maka lelaki di perahu lain akan melempar sebuah kue bernama Tiong Cu Pia yang terbuat dari tepung terigu yang berisi kacang hijau.
"Jika perempuan tersebut membalas lemparan kue ke lelaki itu tandanya mereka saling menyukai. Itu artinya mendapatkan jodoh. Latar belakang inilah yang kemudian membuat kawasan ini hingga sekarang dikenal sebagai Kalijodo," imbuhnya.
Meski dikenal sebagai tempat untuk mencari jodoh, perayaan Peh Cun juga menjadi tontonan menarik tak hanya bagi warga Tionghoa, tetapi juga masyarakat yang berasal dari wilayah lain.
"Jadi, dulunya kali itu memang sebagai pusat perayaan Peh Cun untuk orang baik-baik yang memang ingin cari jodoh, dan dulu di situ belum ada pemukiman, karena tidak boleh ada hunian," ungkapnya.
Setelah saling melempar kue, hubungan dua sejoli yang baru bertemu ini berlanjut dengan 'kopi darat'. Biasanya pasangan muda-mudi yang baru berkenalan ini berjalan ke timur Kali Angke yaitu daerah Bandengan. Dinamakan Bandengan, kata Ridwan, karena memang banyak penjual bandeng yang menjajakan dagangannya di kawasan tersebut.
"Lalu laki-laki biasanya membeli bandeng dan mengantarkan pasangannya ke rumah. Bandeng itu diberikan ke orangtua perempuan sebagai tanda kesungguhannya menjalin hubungan dengan putrinya dan berencana ke jenjang pernikahan," tutur lelaki kelahiran 1942 ini.
Sayangnya, tanpa alasan yang jelas, Ridwan mengatakan, pada 1958, Walikota Jakarta, Sudiro, menghentikan tradisi Peh Cun dan Imlek. "Dihentikannya tidak jelas alasannya, cuman dikatakan bahwa perayaan Imlek tidak boleh lagi dirayakan di ruang publik sehingga hanya dirayakan di rumah-rumah saja," bebernya.
Sejak itulah tak ada lagi tradisi mencari jodoh di kali itu. Kondisi inilah yang kemudian membuat daerah Kalijodo secara perlahan mengalami banyak perubahan. Seperti apa perubahannya? Simak penuturan Ridwan Saidi di artikel selanjutnya.
Dulunya Tempat Mencari Jodoh Saat Perayaan Peh Cun
Minggu, 21 Februari 2016 | 12:43 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
Jaman Jabat Gubernur DKI, Anies Tutup Alexis dan Ahok Tutup Kalijodo, Greget Mana?
17 Januari 2024 | 18:00 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI
Lifestyle | 22:00 WIB
Lifestyle | 21:07 WIB
Lifestyle | 20:46 WIB
Lifestyle | 19:52 WIB