Wajah pelukis Srihadi Soedarsono terlihat sumringah. Di usianya yang menginjak 84 tahun, ia masih terlihat gagah dalam balutan beskap warna hitam. Sesekali senyum mengembang di wajahnya, menampakkan gigi putihnya yang senada warna rambutnya.
Ya, Srihadi memang sedang bahagia. Mimpi besarnya untuk menggelar pameran yang merangkum puluhan tahun ia berkarya, tunai sudah.
"Luar biasa, saya sangat bahagia dikelilingi keluarga yang saya cintai dan orang-orang yang begitu berpengaruh dalam hidup saya," ujarnya di sela rangkaian pembukaan "Pameran Tunggal Srihadi Soedarsono 70 Tahun Rentang Kembara Roso" pekan lalu.
Ini memang bukan pameran pertama seorang Srihadi, tapi oleh banyak kalangan disebut sebagai pameran terbesar sepanjang perjalanan karirnya. Pameran yang memaparkan metamorfosa perjalanan berkesenian Srihadi Soedarsono.
Dan sepanjang jalan panjang itu, 'roso menjadi kata kunci yang mendasari karya-karya Srihadi. Meskipun puluhan tahun mengolah 'roso ia tetap kesulitan untuk memaparkan makna 'roso dalam kata-kata.
"Roso mendampingi hampir semua karya saya. Karya yang diekspresikan dari naluri yang keluar dari kalbu hati. Semacam innerfeeling yang keluar secara spontan," demikian ia menerangkan makna 'roso.
Roso dalam kata Srihadi memang bukan sekedar rasa, yang bisa dicecap dengan indera manusia. Tapi ini adalah hasil percakapan antara suara hati dan pikiran tentang alam sekitar. Roso ini sudah melampaui perkara teknis maupun mekanistik dalam praktik seni rupa.
Dengan 'roso inilah Srihadi 'mengolah' objek-objek di sekitarnya menjadi lebih berjiwa dan lebih bermakna sesuai kebenaran yang ia lihat dengan mata hatinya. Roso ini juga yang menemani
pengembaraan jiwa seorang Srihadi ke berbagai ujung dunia, dari Solo kota kelahirannya, Bandung tempat ia menuntu ilmu, Bali tempat ia menggali spiritualitas, Ohio dan berbagai tempat lain di muka bumi ini. Roso itu lantas mengendap dan tertuang dalam karya.
Namun dari semua pengembaraan dan pengendapan itu, hati Srihadi seolah tertambat pada misteri candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. Objek ini hampir selalu menyertai setiap tahapan masanya berkarya, dan terus ia garap hingga kini. Selalu ada sesuatu yang baru yang bisa ia temukan di sana.
"Objek (Borobudur) tidak pernah berhenti. Selalu ada sifat transedental yang meningkatkan pengalaman saat saya melihatnya. Apa yang saya lihat di masa lalu selalu berbeda dari waktu ke waktu. Bahkan hingga kini, sehingga karya saya berkembang secara berbeda pula," ujarnya.
Aspek roso ini kuat terasa dalam setiap karya Srihadi yang kini mungkin sudah ribuan jumlahnya. Tak hanya tentang Borobudur, tetapi juga keunikan penari Bedoyo Ketawang, atau perahu nelayan yang banyak diabadikan Srihadi di atas kanvasnya.
Meski dorongan melukis selalu datang dari batin terdalam, dari pengendapan rasanya, Srihadi dikenal sebagai pelukis yang sangat produktif. Hampir setiap tahun, pelukis yang dikenal dengan
lukisan Borobudur dan tari Bedoyo ini menggelar pameran tunggal.
Pemilihan tema saat berkarya juga menjadi aspek penting bagi Srihadi selain roso. Karena melalui tema, dia dapat menyampaikan pesan dari karya yang dihasilkan.
"Dari pengalaman, tema dalam karya merupakan hal yang penting. Dengan tema, kita bisa berdialog melalui karya, baik sebagai kritik sosial, kearifan lokal, maupun spiritual," tuturnya.
Sebagai pelukis ia juga dikenal unik. Meski lukisannya diburu oleh banyak kolektor dalam dan luar negeri, lelaki kelahiran Solo, 4 Desember 1931 ini tak akan melepas karyanya jika merasa tidak sreg dengan si pembeli.
Di sisi lain, suami Sitti Farida ini dikenal murah hati untuk kegiatan. Ia tak segan melepas lukisannya untuk dilelang yang hasilnya digunakan untuk kegiatan amal, tanpa imbalan sepeser pun.
Ia juga dengan rapi mengarsip semua coretan tangannya --terutama karya kertasnya-- sejak pertama kali berkarya pada 1945 hingga kini usianya menginjak 84 tahun.
"Karya-karya ini sangat berharga bagi saya, karena sebagian besar hidup saya habiskan sebagai seniman. Saya menyimpannya sebaik mungkin untuk generasi penerus seni rupa Indonesia," ujarnya.
Namun lelaki yang saat muda tak pernah bermimpi menjadi pelukis ini, tak pernah menyimpan keinginan untuk mengabadikan semua karyanya dalam sebuah museum. Ia tak ingin membebani keluarganya untuk merawat karyanya, ia hanya membagi ilmu dan pengalamannya kepada pencinta seni rupa Indonesia.
Perjalanan karier Srihadi dimulai sejak masa Revolusi Kemerdekaan (1946-1949). Saat usianya masih 14 tahun, Srihadi yang terlahir dari keluarga batik di Solo, bergabung dengan Ikatan
Pelajar Indonesia (IPI) bagian pertahanan. Ia antara lain bertugas membuat poster, grafiti, penulisan slogan di dinding, dan gerbong kereta api untuk membangkitkan semangat juang.
Ia lantas mendaftar menjadi anggota Tentara Pelajar (TP) dan dipercaya mejadi wartawan pelukis, yang bertugas mengabadikan momen-momen perjuangan lewat coretan tangannya. Ia pun
mendokumentasikan perjalanan tentara Jepang, pelaksanaan konferensi Tiga Negara (KTN), dan juga pesawat VT-CLA yang jatuh ditembak oleh Belanda di Yogyakarta.
Setamat SMA pada 1952, Srihadi dihadapkan pada dua pilihan, apakah melanjutkan pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta atau Balai Pendidikan Guru Seni Rupa di Bandung. Srihadi memilih Bandung, dengan alasan ingin belajar hal baru.
Saat itu, aliran seni ASRI Yogya adalah impresionisme dan ekspresionisme yang telah banyak dipelajari Srihadi saat masih di Solo dan Yogyakarta. Sementara di Bandung, saat itu banyak pengajar datang dari Eropa yang mengenalkan aliran baru yakni seni abstrak dan kubisme dengan spirit keterbukaan dan universal.
Saat belajar di Bandung itu, Srihadi juga sering berkunjung ke Bali. Di pulau Dewata ini Srihadi yang beranjak dewasa banyak berguru pada seniman Bali untuk menggali spiritualistasnya.
"Pada tahun 1950an, saat berada di Bali, Srihadi mengenal konsep penting dalam karyanya yakni horizon. Garis yang memberi tanda antara yang ada dan yang tidak ada," ujar Rikrik Kusmara, kurator seni yang banyak bekerja sama dengan Srihadi.
Fase selanjutnya adalah masa 1960an, saat Srihadi berkesempatan melanjutkan studi ke Ohio State University. Saat itu, aliran abstrak seolah mendominasi dunia seni lukis negeri Paman Sam. Di tahap ini Srihadi mulai melakukan eksperimentasi pada bentuk abstrak lewat tempelan potongan kertas dan spontanitas warna.
Memasuki era 1970an, gaya melukis Srihadi cenderung impresionis lewat cat air dan ekpresionis lewat cat minyak dan sering memasukkan unsur simbolis dalam lukisannya. Ini seiring dengan pengembaraannya ke berbagai tempat di dunia, baik di Asia maupun Eropa dan Amerika.
Terakhir karyanya muncul dalam bentuk simplifikasi dengan garis horison yang kuat, selain juga lukisan figur-figur puitis yang terinspirasi ajaran Zen. Karya-karya Srihadi era masa kini, dikenal dengan lukisan figuratif, minim garis dan detail, namun tetap indah.
Sebagai pelukis yang telah puluhan tahun mengarungi dunia seni, Srihadi tak memungkiri adanya perang mazhab. Namun ia berharap seniman kini tidak terpengaruh perseteruan mazhab dan menjadi diri mereka sendiri.
"Biarkan hal tersebut menjadi sejarah saja. Cintai manusia lewat karya karya dan kerja keras," demikian pesannya untuk generasi muda pencinta seni.