Suara.com - Pada satu masa kebaya, menjadi bagian tak terpisahkan dengan keseharian perempuan di berbagai daerah di Indonesia. Kebaya menjadi busana sehari-hari perempuan Indonesia.
Lantas kebaya ditinggalkan, dan hanya dikenakan dalam acara-acara formal seperti prosesi pernikahan, wisuda atau upacara adat lainnya. Tapi, ternyata hal ini tak berlaku bagi sebuah komunitas pecinta kebaya yang menamakan diri mereka Perempuan Berkebaya.
Komunitas yang resmi berdiri awal tahun 2015 ini tak canggung berkebaya dan berkain di keseharian mereka. Seperti saat melakukan jalan santai di Kebun Raya Bogor beberapa waktu lalu. Mereka yang terdiri dari puluhan perempuan dewasa dan anak muda, mengenakan kebaya yang dipadukan dengan beragam wastra Nusantara.
Dan, kebaya dalam berbagai model --mulai dari kebaya encim, kutu baru, kebaya panjang, baju kurung, kebaya modern hingga kain-kain tradisional yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa-- tumpah ruah di jalanan Kota Bogor hari itu.
Komunitas Perempuan Berkebaya tak hanya terlihat unik di antara pengunjung Kebun Raya Bogor pagi itu, namun mereka juga terlihat indah bersama kebaya dan kain yang mereka kenakan. Busana yang penuh warna dan tabrak motif ini membuat mereka lebih percaya diri.
Setelah mengikuti perempuan-perempuan berkebaya ini, saya berbincang dengan Sisie Macallo, penyelenggara 'Fun Walk with Perempuan Berkebaya.
Menurutnya, bertemu sesama anggota Perempuan Berkebaya telah dilakukan setiap bulan. Pertemuan ini merupakan wadah silaturahmi anggota komunitas yang bertujuan agar perempuan Indonesia lebih mencintai kebaya dan kain Nusantara.
Perempuan berkebaya terbentuk karena kecintaan Kristin Samah, Lia Nathalia, Tuti Marlina dan beberapa rekannya terhadap kebaya. Mereka tak ragu mengenakan busana tradisional perempuan Indonesia dalam keseharian, dan mulai mengganti semua isi lemari mereka dengan kebaya dan kain-kain Nusantara.
"Saat kita berkebaya ke mana saja, banyak yang tertarik. Temen-temen deket mulai ikutan mulai kirim-kirim foto mereka berkebaya di Facebook. Makin banyak yang nunjukin kecintaannya terhadap kebaya. Dari situlah kita berpikir, kenapa kita nggak buat wadah saja," ujar Lia Nathalia salah satu penggagas Komunitas Perempuan Berkebaya.
Nama Perempuan Berkebaya, lanjutnya diambil bukan tanpa alasan. Komunitas ini memilih kata perempuan dan bukan wanita. Perempuan, kata Lia adalah jenis kelamin yang secara bahasa diambil dari kata 'empu'. Ini berarti perempuan dihormati dan lebih ditinggikan dibandingkan kata wanita.
Selanjutnya, komunitas yang sama juga berdiri di beberapa kota seperti Yogyakarta, Jakarta, Bogor dan Bali. Visi mereka satu, yakni melestarikan budaya Indonesia melalui berkebaya dan berkain setiap harinya.
"Kami berpikir kenapa tidak setiap hari dipakai seperti zaman dulu. Rata-rata ketika kita berkebaya di Indonesia, kita diidentikan dengan orang Bali. Apalagi kalau di luar. Tidak ada yang mengenal bahwa ini identitas bangsa," ujar dia lagi.
Tak hanya kebaya, Komunitas Perempuan Berkebaya juga mengupayakan agar seluruh kain nusantara, seperti batik, tenun, hingga songket untuk bisa dipakai setiap hari.
Hal ini, tambah dia, juga bisa sebagai upaya untuk menghidupkan industri kerajinan dalam negeri yang beberapa di antaranya sudah 'mati suri', sehingga perempuan Indonesia juga bisa mencintai produk dalam negeri.
Dalam setiap kegiatan yang dilakukan, kata Lia, tak hanya berkumpul, mereka pun selalu berusaha untuk berbagi ilmu tentang banyak hal. Tak hanya kebaya, acara kumpul-kumpul ini juga kadang membagi ilmu tentang seluk beluk kain dan motifnya, kesehatan perempuan, bedah buku dan segala hal yang berkaitan dengan kaum hawa.
"Perempuan yang baik dan cerdas akan menghasilkan bangsa yang baik. Jadi kita ingin saat kita berkumpul, kita semua punya ilmu baru," ungkapnya.
Anggota komunitas ini cukup beragam, mulai gadis belia umur belasan hingga perempuan dewasa. "Siapapun bisa ikut Komunitas Perempuan Berkebaya dengan bergabung di sosial media Facebook 'Perempuan Berkebaya'. Yuk kita berkebaya!" ajak Lia.