Suara.com - “Jangan lihat ke atas,” seru Narja (63) kepada kami yang ia pandu menaiki perbukitan curam dan licin untuk menuju kampung Cibeo, Baduy Dalam.
“Lihat langkah saja,” katanya kemudian. Setepak demi setapak nanti juga sampai, jangan dipikirkan susahnya begitulah nasihat Narja. Itu kearifan lokal Baduy, karena medan berat di depan sana kadang membuat semangat orang pupus untuk terus berjalan.
Narja warga asli kampung Cibeo, nampak gagah mengenakan ikat kepala dan pakaian putih-hitam khas Baduy Dalam. Sebilah golok terselip di pinggangnya, kakinya telanjang tak beralas kaki yang dipantangkan.
Walau sudah tak lagi muda langkah kakinya masih lincah menapaki jalan tanah yang mendaki nan licin, karena baru saja tersiram hujan.
Ia ditemani anak mantunya, Amir (35), memandu kami ke Baduy Dalam. Ia bukan warga Baduy Dalam, ia tinggal di kampung Cigula, Baduy Luar bersama istrinya yang merupakan anak perempuan Narja, Mumun (32).
Kami Sudah berjalan sekitar hampir dua jam dari kampung Balimbing, Baduy Luar, tempat kami menginap malam sebelumnya. Perjalanan beberapa kali terhenti untuk mengambil foto dan video.
Jembatan Tambayang, Pembatas Baduy Dalam dan Luar
Tibalah kami di jembatan gantung, Tambayang, yang melintasi sungai Ciujung. Jembatan dan sungai itulah yang menjadi pembatas antara Baduy Luar dan Dalam.
Terus kami berjalan melewati huma atau rumah di tengah ladang berpindah yang fungsinya tempat berisitirahat jika lelah berkebun. Kampung Cibeo sudah semakin dekat, tandanya adalah mulai terlihat deretan leuit-leuit atau lumbung padi tradisional Baduy.
“Ada 200-an leuit di kampung Cibeo, letaknya tersebar seluruh kampung,” terang Narja.
Ia lalu menceritakan dulu di atas tanah deretan leuit-leuit berdiri kampung Cibeo sebelum terbakar habis tahun 1996 dan 1998. Lalu mereka pindah lebih ke agak dalam hutan lagi dan di atas tanah bekas kebakaran itu di bangun leuit-leuit baru.
Semakin mendekati kampung Cibeo tiba-tiba saja Amir menghentikan langkahnya. Ia mencopot sendal yang dipakainya, lalu menyembunyikan di antara semak-semak.
“Tidak enak sama orang dalam kalau memakai sendal,” katanya menjelaskan.
Warga Baduy Dalam masih memegang adat dan tradisinya secara ketat. Salah satunya tidak boleh mengenakan alas kaki. Mereka menutup diri dari pengaruh luar.
Warga Baduy Luar seperti Amir boleh mengenakan alas kaki, walau akhirnya dilepas juga saat memasuki kampung Cibeo, Baduy Dalam.
Kampung Cibeo terdiri dari 97 rumah. Yang dihuni oleh 143 Kepala Keluarga, jumlah total penduduknya 600 orang. Satu rumah ada yang dihuni lebih dari satu kepala keluarga.
Biasanya kalau lebih dari satu kepala keluarga maka jumlah dapurnya pun disesuaikan dengan jumlah kepala keluarga. Ini jadi masalah karena mereka memasak dengan kayu bakar, pembakarannya bisa mengundang penyakit Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA).
Itu yang kami temukan di sana. Banyak warga yang batuknya tak kunjung sembuh. Kami sempat membagi obat yang kami bawa. Memasuki kampung Cibeo terlihat ada keramaian. (Feri Latief)
Baduy Dalam mulai membuka diri ...
Baduy Dalam Mulai Membuka Diri
Berdasarkan pengalaman kami yang pernah beberapa kali ke Baduy, kalau pagi atau siang hari biasanya kampung sepi, karena ditinggal warga untuk berladang. Paling hanya satu dua orang lelaki yang tinggal tugasnya untuk meronda keliling kampung.
Rupanya sedang panen durian! Lelaki dewasa dan anak-anak keluar masuk kampung memikul buah durian hasil panen mereka. “Masih ada 1200 pohon lagi belum di panen,” kata salah seorang dari mereka.
Durian dikumpulkan pada sebuah rumah, nantinya akan diangkut ke Ciboleger, desa terdekat untuk dijual ke pengepul durian. “Kalau beli di sini harganya Rp7000, tapi kalau diluar bisa Rp15.000,” terang Narja.
Lalu ia menjelaskan ongkos angkut ke Ciboleger. “Rp2000 per buah durian.”
Ada keramaian yang lain terlihat di kampung Cibeo. Nampak beberapa pemuda berkerumun di sebuah rumah yang letaknya tepat di paling depan kalau kita memasuki kampung. Rasa penasaran membuat kami melangkah ke rumah itu. Ternyata rumah tersebut berfungsi juga sebagai warung!
Nampaknya Baduy Dalam mulai membuka diri. Tapi nanti dulu, warung itu sebenarnya bukan warung permanen. Seorang pedagang dari kampung luar Baduy, Ahmadi, menggunakan rumah itu untuk dia menjajakan barang dagangannya. Yang dijualnya sembako.
Ia dibolehkan berdagang oleh Jaro atau kepala kampung Cibeo dengan syarat: boleh menginap hanya semalam! Hari selanjutnya ia harus keluar kampung. Barang dagangnya boleh ditinggal di rumah tersebut. Dua hari sekali dia harus bolak balik ke Cibeo untuk berjualan.
Walau ia hanya boleh menginap semalam, tapi secara defacto ia telah membuka warung di Cibeo. Ini adalah perkembangan terbaru Baduy Dalam. “Tidak sewa tempat, tapi kalau mau ngasih uang boleh tidak ngasih juga tidak apa-apa,” begitu penjelasan Narja. (Feri Latief)
Makin banyak warung ...
Makin Banyak Warung
Keterbukaan Telah Berlangsung Dalam Satu Dekade
Fenomena “keterbukaan” Baduy telah berlangsung dalam satu dekade belakang ini. Itu diakui oleh seorang pedagang, yang kami temui di kampung Cibungur, Baduy Luar, kampung terdekat dengan Cibeo.
“Saya mulai berjualan dari tahun 2010,” kata Suleman (30), warga kampung Cicakal Girang, Baduy Luar. Ia berjualan sendal, permen, biskuit dan lain-lain.
Suleman memikul semua barang itu keluar masuk kampung untuk dijual ke warga Baduy Dalam dan Luar.
Warga Baduy Luar dibolehkan berjualan.
Di kampung-kampung Baduy Luar sudah banyak berdiri warung-warung yang menjual kebutuhan rumah tangga. Kunjungan kami tiga tahun lalu sudah mendapati beberapa warung. Kini semakin banyak warung dibuka di setiap kampung.
Ada yang betul-betul mengubah tampilan rumahnya menjadi sebuah warung, ada yang hanya mengeletakkan barang dagangannya di lantai rumahnya. Mulai dari Kadu Ketuk, kampung Baduy Luar terdepan, terus ke Cipondok, Balimbing, Marengo, Gajeboh, Cicakalmuhara, Cipaler, Cibungur.
Sampai jua akhirnya di tiga kampung Baduy Dalam: Cibeo, Cikatarwana dan Cikeusik. Di Kadu Ketuk, kampung yang terdekat dengan Cibogleger, hampir semua rumah menjadi warung yan menjajakan barang dagangan produk khas Baduy. Mulai dari kain tenun sampai hasil alam, seperti durian, pisang, gula aren, dan madu hutan.
Infiltrasi ekonomi begitu kuat. Pedagang-pedagang dari desa sekitar pun menyerbu masuk Baduy. Warga Baduy menjadi target pemasaran mereka.
Selain itu pedagang pun menampung hasil bumi mereka. Ini membuka mata kita bahwa kekuatan ekonomi warga Baduy cukup besar. (Feri Latief)
Ada listrik di Baduy Luar ...
Ada Listrik di Baduy Luar
Yang lebih mengejutkan kami menjumpai pedagang dari desa luar yang menjual es krim yang dilengkapi dengan sirine nyaring bak di kota, untuk menandakan kehadirannya.
Kampung Baduy yang biasanya hening diramaikan oleh bunyi sirine pedagang es krim. Sirinenya berdaya listrik dari aki kecil.
Listrik nyatanya telah hadir di Baduy Luar. Di kampung Balimbing tempat saya menginap sudah menggunakan listrik tenaga surya.
Sinyal telepon sampai di desa ini, jangan heran melihat warga di sini sudah banyak menggunakan telepon yang dilarang digunakan di Baduy Dalam.
Penampilan orang Baduy Luar pun banyak berubah. Dahulu kaum lelaki Baduy Luar identik dengan pakaian warna hitam dan ikat kepala berwarna biru, tak terkecuali anak-anaknya. Sekarang mulai jarang dijumpai lelaki Baduy Luar yang mengenakan pakaian itu.
Sehari-hari mereka hanya mengenakan celana jeans dan kaos. Seperti Amir pemandu saya, menggenakan celana jeans dan kaos.
Hanya ikat kepala berwarna biru yang kadang ia kenakan, selebihnya hanya tersampir di pundak. Kami hampir tak mengenali ia sebagai warga Baduy Luar yang biasanya terlihat dari atribut yang dikenakannya.
Hanya kaum perempuan Baduy Luar yang terlihat masih konsisten dengan cara berpakaiannya: Kebaya biru-biru dan caping lebarnya jika di luar rumah atau di ladang. Tak terkecuali anak-anak perempuan pun tetap mengenakannya.
Mayoritas perempuan masih berpegang pada tradisi cara berpakaiannya. (Feri Latief)
Menunggu waktu untuk perubahan besar ...
Menunggu Waktu Untuk Perubahan Besar
Keterbukaan dan perubahan perlahan, tapi pasti terjadi di Baduy Luar dan Dalam. Baduy Luar yang dulu dianggap sebagai filter budaya untuk Baduy Dalam perlahan-lahan juga berubah. Ibarat benteng pertahanan yang temboknya mulai rapuh. Bisakah Baduy Dalam bertahan?
Tinggal menunggu waktu saja perubahan besar terjadi di sana. Kini anak-anak Baduy Luar sudah banyak yang belajar baca tulis.
Mereka tak bersekolah formal tapi mengikuti Kelompok Belajar Paket A dan melanjutkan ke Paket B. Mereka mulai belajar bersaing dengan masyarakat di luar Baduy.
Semoga mereka tak kalah dan semakin termarjinalisasi.
Kami kembali ke Ciboleger, pintu masuk orang yang ingin berkunjung ke Baduy. Di sana beberapa tahun lalu telah didirikan sebuah mini market lengkap dengan alat transaksi elektroniknya.
Di sekelilingnya berdiri toko-toko yang menjual alat kebutuhan rumah tangga. Jaraknya hanya sekitar 300 meter dari kampung Baduy Luar terdekat, Kadu Ketuk.
Di dalam kendaraan umum yang kami tumpangi untuk pulang seorang remaja putri Baduy Luar yang mengenakan kain biru dan atasan biru nampak serius memainkan smartphonenya. Sepertinya ia bertukar pesan dengan temannya.
Itulah portrait masyarakat Baduy sekarang, yang perlahan tapi pasti telah memodernkan dirinya.
Kalau Anda ingin berkunjung ke Baduy berkunjunglah sekarang. Mungkin 10 atau 20 tahun lagi kita tak akan menjumpai Baduy yang tertutup dan terisolasi seperti cerita-cerita yang kita pernah dengar sebelumnya. (Feri Latief)