Baduy yang Semakin Modern

Ririn Indriani Suara.Com
Senin, 25 Januari 2016 | 11:03 WIB
Baduy yang Semakin Modern
Kampung Baduy. (Foto: Feri Latief)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - “Jangan lihat ke atas,” seru Narja (63) kepada kami yang ia pandu menaiki perbukitan curam dan licin untuk menuju kampung Cibeo, Baduy Dalam.  

“Lihat langkah saja,” katanya kemudian. Setepak demi setapak nanti juga sampai, jangan dipikirkan susahnya begitulah nasihat Narja.  Itu kearifan lokal Baduy,  karena medan berat di depan sana kadang membuat semangat orang pupus untuk terus berjalan.

Narja warga asli kampung Cibeo, nampak gagah mengenakan ikat kepala dan pakaian putih-hitam khas Baduy Dalam. Sebilah golok terselip di pinggangnya, kakinya telanjang tak beralas kaki yang dipantangkan.

Walau sudah tak lagi muda langkah kakinya masih lincah menapaki jalan tanah yang mendaki nan licin, karena baru saja tersiram  hujan.

Ia ditemani anak mantunya, Amir (35), memandu kami ke Baduy Dalam. Ia bukan warga Baduy Dalam, ia tinggal di kampung Cigula, Baduy Luar bersama istrinya yang merupakan anak perempuan Narja, Mumun (32).

Kami Sudah berjalan sekitar hampir dua jam dari kampung Balimbing, Baduy Luar, tempat kami menginap malam sebelumnya. Perjalanan beberapa kali terhenti untuk mengambil foto dan video.

Jembatan Tambayang, Pembatas Baduy Dalam dan Luar
Tibalah kami di jembatan gantung, Tambayang, yang melintasi sungai Ciujung. Jembatan dan sungai itulah yang menjadi pembatas antara Baduy Luar dan Dalam.

Terus kami berjalan melewati huma atau rumah di tengah ladang berpindah yang fungsinya tempat berisitirahat jika lelah berkebun. Kampung Cibeo sudah semakin dekat, tandanya adalah mulai terlihat deretan leuit-leuit atau lumbung padi tradisional Baduy.

“Ada 200-an leuit di kampung Cibeo, letaknya tersebar seluruh kampung,” terang Narja.

Ia lalu menceritakan dulu di atas tanah deretan leuit-leuit berdiri kampung Cibeo sebelum terbakar habis tahun 1996 dan 1998. Lalu mereka pindah lebih ke agak dalam hutan lagi dan di atas tanah bekas kebakaran itu di bangun leuit-leuit baru.    

Semakin mendekati kampung Cibeo tiba-tiba saja Amir menghentikan langkahnya. Ia mencopot sendal yang  dipakainya, lalu menyembunyikan di antara semak-semak.

“Tidak enak sama orang dalam kalau memakai sendal,” katanya menjelaskan.

Warga Baduy Dalam masih memegang adat dan tradisinya secara ketat. Salah satunya tidak boleh mengenakan alas kaki. Mereka menutup diri dari pengaruh luar.

Warga Baduy Luar seperti Amir boleh mengenakan alas kaki, walau akhirnya dilepas juga saat memasuki kampung Cibeo, Baduy Dalam.

Kampung Cibeo terdiri dari 97 rumah. Yang dihuni oleh 143 Kepala Keluarga, jumlah total penduduknya 600 orang.  Satu rumah ada yang dihuni lebih dari satu kepala keluarga.

Biasanya kalau lebih dari satu kepala keluarga maka jumlah dapurnya pun disesuaikan dengan jumlah kepala keluarga. Ini jadi masalah karena mereka memasak dengan kayu bakar, pembakarannya bisa mengundang penyakit Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA).

Itu yang kami temukan di sana. Banyak warga yang batuknya tak kunjung sembuh. Kami sempat membagi obat yang kami bawa. Memasuki kampung Cibeo terlihat ada keramaian. (Feri Latief)

Baduy Dalam mulai membuka diri ...

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI