Di dunia film, nama Joko Anwar dikenal sebagai pekerja film serba bisa. Joko adalah sutradara, penulis skenario, produser sekaligus aktor. Dan, ia bukan sembarangan pekerja film. Ia selalu total dalam berkarya. Karena ia berpendapat menjalani hidup secara setengah-setengah bukanlah hidup yang sesungguhnya.
Keyakinan ini juga yang membuat Joko meninggalkan dunia musik yang sempat digumulinya, untuk fokus di dunia film. Karena ia sadar tak mungkin mengangkagi dua bidang ini sekaligus.
Dan Joko tak main-main dengan passion-nya di dunia film. Itu mungkin yang membuat film-filmnya selalu beda dan layak mendapat pujian. Sejumlah kalangan menyebutnya sebagai salah satu sutradara terkeren dan tercerdas di Indonesia, bahkan Asia.
Pengakuan itu dibuktikan dengan sederet penghargaan yang diterima laki-laki berbintang Capricron ini. Tiga Piala Citra kini menjadi koleksinya, lewat film "Kala", "Fiksi" dan "A Copy of My Mind".
Belum sederet penghargaan lain dari banyak festival film tingkat dunia, macam Berlin Asia Hotshot Film Festival. Namun, Joko yang mengaku tak memiliki rasa takut ini, tak pernah menganggap 'serius' semua penghargaan ini. Bahkan, Joko yang baru saja dinobatkan menjadi Sutradara Terbaik di Festival Film Indonesia 2015 menyimpan Piala Citranya itu di laci meja.
"Terima kasih sih, iya. Tapi nggak lantas dibangga-banggakan," ujarnya saat berbincang dengan suara.com, di satu sore akhir pekan lalu.
Laki-laki yang menghabiskan masa kecil di Medan Sumatera Utara itu bahkan tak menyimpan satu pun poster film karyanya. Padahal tak kurang dari 21 film lahir dari tangannya, baik sebagai penulis, asisten sutradara, sutradara, produser maupun aktor.
Sebagai aktor, terakhir ia menjadi pemeran utama untuk film "Melancholy is A Movement" yang disutradarai Richard Oh.
"Setelah saya membuat film biasanya saya langsung move on ke film lain. Tapi saya tak pernah lupa melakukan assesment untuk mengevaluasi kekurangan film itu," ujarnya.
Itu sebabnya, laki-laki yang sering mengenakan baju berwarna hitam itu selalu mengikutkan filmnya ke festival film internasional. Karena di festival itu filmnya ditonton, diapresiasi dan
dikritik. Masukan itulah yang menjadi bekalnya untuk membuat film selanjutnya.