Suara.com - Menjadi kaum minoritas di Indonesia bukan hal yang mudah bagi para waria, sebutan untuk wanita pria. Pandangan miring selalu menggelayuti kehidupan mereka, dimanapun dan kapanpun.
Ada di antara mereka yang mampu bertahan dan keluar dari jalanan, tapi ada pula yang teronggok menjadi pesakitan. Belum lagi penolakan demi penolakan yang harus mereka terima dari pihak keluarga.
Merasakan pahit getir menjadi seorang waria yang kerap dipandang sebelah mata, Yulianus Rettoblaut atau yang kerap disapa Mami Yuli bertekad memperjuangkan nasib sesamanya.
Delapan tahun tahun sudah ia menggeluti dunia malam dan berpindah dari satu jalanan ke jalanan lainnya demi memenuhi kebutuhan perutnya.
Waria asal Timur Indonesia, Papua ini tahu betul bagaimana diskriminasi yang dialamatkan kepadanya dan ribuan waria yang hidup di jalanan.
"Bencooong... Bencong.. teriakan seperti itu sudah nggak saya anggap hinaan saking seringnya diberikan kepada kami. Belum lagi harus hidup di jalanan, karena keluarga bahkan masyarakat setempat belum mau menerima kami," ujarnya kepada Suara.com belum lama ini.
Hingga akhirnya pada 1997, Mami Yuli memutuskan berhenti menjadi penjaja seks jalanan. Bermula dari diskriminasi yang tak henti menghujaninya, ia bertekad untuk menyongsong kehidupan lebih baik dengan melanjutkan pendidikannya.
Merangkul Waria Jalanan
Seiring waktu berjalan, ia mengumpulkan waria yang telah lanjut usia (lansia) dan merangkul waria-waria jalanan di Jakarta. Bahkan, ia tak segan memperjuangkan hak kaum waria yang terpinggirkan terutama ketika melihat sahabatnya mendapat penolakan di masyarakat.
"Jadi kalau komunitas nggak resminya sekedar ngumpul dan diskusi sesama waria itu sudah lama ya. Tapi untuk resminya saya bikin Forum Komunikasi Waria Indonesia sejak Kontes Miss Waria pada 2005 silam," ujar Mami Yuli sambil mengibas rambutnya.
Melalui komunitas yang didirikannya, ia aktif menampung persoalan waria seantero Indonesia. Kepiawaiannya dalam lobi dan keluwesannya dalam bersosialisasi membuat Mami Yuli akrab dengan para petinggi parlemen.
"Suara waria di daerah kita sosialisasikan dan membawanya ke parlemen. Kita juga membina hubungan baik dengan Departemen Sosial agar teman-teman waria bisa dibina dengan baik," imbuhnya.
Di komunitas ini, para waria dibekali dengan berbagai keterampilan seperti memotong rambut, memasak, membuat anyaman dan lainnya. Melalui keterampilan inilah diharapkan para waria memiliki bekal untuk menjalani hidup yang lebih baik.
"Kegiatannya seperti bikin kue, nyalon, atau membuat kerajinan tangan sehingga bisa jadi modal mereka bertahan hidup dan tidak kembali ke jalanan lagi," imbuh Mami Yuli yang kini tengah meraih gelar S3 di bidang hukum.
Dari 8000 waria yang dirangkul dalam komunitas ini, tinggal 40 persen yang masih bertahan di jalanan. Sisanya telah menarik diri dari gelapnya kehidupan malam dan bertumpu dengan keterampilan yang dibekalkan kepadanya.
Waria Pun Bisa Berprestasi
Salah satu waria yang telah bergabung di FKWI adalah Evi. Perempuan paruh baya ini sadar betul bahwa mencari pekerjaan layak dengan statusnya sebagai waria bukanlah hal yang mudah di Indonesia. Bergabung dengan FKWI membuatnya bisa hidup mandiri dan keluar dari jeratan pekerjaan malam.
"Saya sadar, cari kerja yang kayak orang-orang pada umumnya itu sulit. Makanya kita ngembangin keterampilan disini. Belajar nyalon, masak, biar bisa berkembang dan mandiri," ujar waria yang kini berprofesi sebagai pekerja salon ini.
Hal yang sama diungkapkan Mami Ita. Meski pembawaan femininnya dirasakan sejak kecil, ia mengaku tak pernah bermimpi menjadi pelacur jalanan demi mengais rezeki. Beruntung Mami Ita mengenal Mami Yuli yang mengeluarkannya dari jalanan.
Kini ia menjadi pekerja salon setelah mendapatkan keterampilan setelah bergabung dalam komunitas ini.
"Saya nggak mau hidup di jalanan terus. Makanya ketika ditawari keterampilan saya mau dan memilih kursus salon," ujarnya lirih.
Waria berusia 47 tahun ini mengaku bahwa sedikit demi sedikit penerimaan dari masyarakat akan statusnya muncul setelah dirinya menunjukkan bahwa waria juga bisa berprestasi.
"Hinaan, penolakan pasti ada. Tinggal bagaimana kita bisa membawa diri di masyarakat. Kita tunjukkan bahwa meski waria kita punya keterampilan yang bermanfaat," imbuhnya.
Dalam menjalankan kegiatannya, komunitas ini memiliki semacam rumah singgah yang berlokasi di Maruyung, Depok, Jawa Barat.
Meski sederhana, di sinilah mereka saling berkumpul, mengembangkan diri, dan belajar bersosialisasi dengan masyarakat untuk menjadi insan manusia yang lebih baik.
Sederet prestasi pun diukir anggota komunitas ini. Salah satunya Wayan Lucky Dyah Pithaloka. Kemolekan dan paras yang menawan membawanya menyabet predikat Miss Hukum dan HAM dari Komnas HAM pada 2011.