Marsya Anggia, Bukan Relawan Paruh Waktu

Esti Utami Suara.Com
Kamis, 17 Desember 2015 | 16:22 WIB
Marsya Anggia, Bukan Relawan Paruh Waktu
Direktur Indorelawan, Marsya Anggia Natasha. (suara.com)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Marsya Anggia Natasha masih muda. Usianya baru 26 tahun, tak heran semangat mudanya begitu terasa saat kami berbincang di kantornya di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.

Marsya baru kembali dari Amerika Serikat guna mengikuti ajang Jokolna Catalyst. Lembaga nonprofit berbasis di Seattle ini membantu social entrepreneur berpotensi tinggi dari negara berkembang.

Marsya menjadi satu dari delapan pemuda pengusaha sosial Indonesia yang dipercaya mengikuti program intensif selama tiga minggu di Seatle. Mereka  dinilai terbukti efektif membantu menyelesaikan masalah sosial di komunitas mereka. Marsya bersama Indorelawan yang dipimpinnya,  dinilai berhasil membantu menjembatani mereka yang berjiwa sosial dengan lembaga sosial yang membutuhkan relawan.

Marsya bersama sejumlah pemuda pengusaha sosialdari negara berkembang saat mengikuti program Jokolna Catalyst Entrepreneur. (Dok. Pribadi)

Ditemani dua rekannya, Noel dan Maritta, lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI) ini lantas mengisahkan bagaimana dia bisa terlibat dalam 'industri sosial' bersama Indorelawan serta mimpi-mimpinya soal dunia relawan di tanah air.

Ia bermimpi, satu saat menjadi relawan bisa menjadi gaya hidup bagi mayoritas kelompok menengah di Indonesia. Ia yakin, jika hal ini terwujud maka Indonesia akan jauh lebih baik dari sekarang. Dan Marsya melihat, sebenarnya potensi itu bukan hanya ada tapi sangat besar.   

"Sebenarnya banyak orang yang tertarik menjadi relawan, namun mereka tak tahu apa yang bisa dilakukan, di mana dan harus bergabung dengan siapa," tegasnya.

Dan yang lebih menggembirakan, menurut Marsya, mereka yang tertarik menjadi relawan itu adalah kaum muda berusia antara 18-23 tahun, baru kemudian disusul oleh kelompok pekerja.
Situs Indorelawan yang didirikan pada Februari 2014, kini berhasil merangkul ratusan 100 organisasi dan sekitar 7500 relawan.

"Its a great experience buat aku, bisa mengungkap kalau sebenarnya potensinya besar banget bagi orang untuk terlibat," ujarnya.

Ia menjelaskan salah satu tujuan utama Indorelawan adalah menghubungkan high skill volunteers dengan organisasi sosial. Tapi seiring berjalannya waktu, ternyata lebih dari 50 persen relawan yang bergabung adalah mahasiswa dan anak SMA.

"Sangat membahagiakan, bagaimana kami bisa mendorong niat baik menjadi aksi yang baik,"  ujarnya.

Lulusan SMAN 68 Jakarta ini berprinsip, menjadi relawan itu tidak harus mempersulit diri sendiri. Seseorang tidak harus pergi ke tempat yang jauh atau memiliki ketahanan fisik yang luar biasa. Bisa sangat sederhana, seperti misalnya membantu seseorang mengubah hidupnya menjadi lebih baik.

Menjadi relawan juga tak harus menunggu mapan, memiliki banyak uang atau harus meluangkan waktu berbulan-bulan. Bisa saja saat akhir minggu atau saat pulang kantor.

"Dibuat mudah bahwa berbuat baik tidak harus menunggu. Jadi lihat sekeliling saja, ada banyak hal yang bisa kita kerjakan dan nggak perlu jauh-jauh," tegasnya.

Jiwa sosial Marsya yang tumbuh dan besar di Jakarta, sudah membenih sejak ia duduk di bangku sekolah. Awalnya ia hanya ingin cari-cari kegiatan relawan. Ia ingat kegiatan pertamanya adalah kampanye bersama teman-temannya di Perkumpulan Indonesia Berseru menggelar aksi di Bundaran HI untuk ketahanan pangan.

"Aku mulai dari situ. Setelah itu sempat cari-cari ada Yayasan Mitra Netra. Aku ikutan itu dan aku ngetik dari Microsoft Word ke Braille," terangnya.

Aksi sosial Marsya berlanjut ketika ia menyelesaikan kuliahnya. Ia memang sempat bekerja sebagai staf riset pemasaran di perusahaan swasta, namun keinginan untuk bekerja di lembaga nonprofit lebih kuat.

Sehingga di luar jam kerjanya ia aktif di  Perkumpulan Indonesia Berseru. Hingga akhirnya pada bulan Juni 2014, ia mendapat beasiswa dari Nusantara Development Initiatives (NDI). Ini menjadi momen yang menentukan pilihan hidup Marsya. Dari fellowship ini ia dikirima ke sebuah desa di Kepulauan Riau.

"Waktu itu training-nya di Singapura kemudian turun lapangannya di Kepulauan Riau. Di sana belum ada listrik, dan tugas kami melatih para ibu-ibu untuk menjual lampu tenaga matahari ke penduduk setempat," paparnya.

Ini membuka mata Marsya, betapa selama ini banyak dari kita yang terlalu asyik dengan diri sendiri. Sementara di daerah lain, banyak orang yang hidup dengan fasilitas seadanya dan sangat membutuhkan uluran tangan. Dan dengan jika kita mau berbagi, untuk hal yang sangat sederhana sekalipun itu bisa membuat perubahan ke arah yang lebih baik.

"Itu yang buat aku ingin kerja kayak gini, sesuatu yang memang bermanfaat buat orang lain.

Fakta ini membuat Marsya bulat untuk mengabdikan hidupnya untuk kegiatan sosial. Sekembalinya ke Jakarta ia bekerja di Indorelawan. Ia resmi bergabung dengan Indorelawan pada Januari 2014 sebagai volunteer activation manager.

Dan setahun belakangan, Marsya mengabdikan 100 persen waktunya untuk mengurus Indorelawan.  Sejak Agustus 2014 ia bahkan dipercaya menjadi direktur.

Karena keputusan ini, ia sering mendapatkan pertanyaan tentang bagaimana karirnya atau bahkan penghasilan. Menurutnya masih banyak orang yang  berpikir, bahwa ketika seseorang memutuskan berkarir di sektor nonprofit maka dia tidak memikirkan karir atau gaji.

Tapi menurutnya, apa yang dipikirkan orang tak sepenuhnya benar. Menjadi relawan fulltime, tak hanya memberinya kepuasan batin, tapi juga karir yang menjanjikan. Dan dia suka dengan jalan hidup yang dipilihnya.   

"Jadi maksudnya saya tidak hanya bekerja untuk passion, tapi saya juga bekerja untuk kehidupan," ujarnya.

Marsya Anggia dan rekannya di Indorelawan. (Instagram/Marsya Anggia)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI