Marsya Anggia Natasha masih muda. Usianya baru 26 tahun, tak heran semangat mudanya begitu terasa saat kami berbincang di kantornya di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.
Marsya baru kembali dari Amerika Serikat guna mengikuti ajang Jokolna Catalyst. Lembaga nonprofit berbasis di Seattle ini membantu social entrepreneur berpotensi tinggi dari negara berkembang.
Marsya menjadi satu dari delapan pemuda pengusaha sosial Indonesia yang dipercaya mengikuti program intensif selama tiga minggu di Seatle. Mereka dinilai terbukti efektif membantu menyelesaikan masalah sosial di komunitas mereka. Marsya bersama Indorelawan yang dipimpinnya, dinilai berhasil membantu menjembatani mereka yang berjiwa sosial dengan lembaga sosial yang membutuhkan relawan.
Ditemani dua rekannya, Noel dan Maritta, lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI) ini lantas mengisahkan bagaimana dia bisa terlibat dalam 'industri sosial' bersama Indorelawan serta mimpi-mimpinya soal dunia relawan di tanah air.
Ia bermimpi, satu saat menjadi relawan bisa menjadi gaya hidup bagi mayoritas kelompok menengah di Indonesia. Ia yakin, jika hal ini terwujud maka Indonesia akan jauh lebih baik dari sekarang. Dan Marsya melihat, sebenarnya potensi itu bukan hanya ada tapi sangat besar.
"Sebenarnya banyak orang yang tertarik menjadi relawan, namun mereka tak tahu apa yang bisa dilakukan, di mana dan harus bergabung dengan siapa," tegasnya.
Dan yang lebih menggembirakan, menurut Marsya, mereka yang tertarik menjadi relawan itu adalah kaum muda berusia antara 18-23 tahun, baru kemudian disusul oleh kelompok pekerja.
Situs Indorelawan yang didirikan pada Februari 2014, kini berhasil merangkul ratusan 100 organisasi dan sekitar 7500 relawan.
"Its a great experience buat aku, bisa mengungkap kalau sebenarnya potensinya besar banget bagi orang untuk terlibat," ujarnya.
Ia menjelaskan salah satu tujuan utama Indorelawan adalah menghubungkan high skill volunteers dengan organisasi sosial. Tapi seiring berjalannya waktu, ternyata lebih dari 50 persen relawan yang bergabung adalah mahasiswa dan anak SMA.
"Sangat membahagiakan, bagaimana kami bisa mendorong niat baik menjadi aksi yang baik," ujarnya.
Lulusan SMAN 68 Jakarta ini berprinsip, menjadi relawan itu tidak harus mempersulit diri sendiri. Seseorang tidak harus pergi ke tempat yang jauh atau memiliki ketahanan fisik yang luar biasa. Bisa sangat sederhana, seperti misalnya membantu seseorang mengubah hidupnya menjadi lebih baik.
Menjadi relawan juga tak harus menunggu mapan, memiliki banyak uang atau harus meluangkan waktu berbulan-bulan. Bisa saja saat akhir minggu atau saat pulang kantor.
"Dibuat mudah bahwa berbuat baik tidak harus menunggu. Jadi lihat sekeliling saja, ada banyak hal yang bisa kita kerjakan dan nggak perlu jauh-jauh," tegasnya.