Agustinus Wibowo, Kisah Pengeliling Dunia Berbekal 2000 Dolar AS

Esti Utami Suara.Com
Rabu, 02 Desember 2015 | 09:01 WIB
Agustinus Wibowo, Kisah Pengeliling Dunia Berbekal 2000 Dolar AS
Agustinus Wibowo. (suara.com)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - "Lakukanlah perjalanan. Karena perjalanan tidak hanya mengenalkanmu pada dunia luar, tapi juga membuatmu lebih mengenal diri sendiri. Tanpa perjalanan, kamu bisa kehilangan kesempatan untuk mengenal diri sendiri."

Itulah pesan seorang Agustinus Wibowo, salah satu orang yang menjadi 'nabi' bagi para backpacker di tanah air. Ia adalah seorang petualang, musafir, pengembara. Seorang backpaker sejati.

Bagi banyak orang, aktivitas jalan-jalan dengan biaya rendah sebagai bakckpaker adalah hobi. Tapi bagi Agus, demikian Agustinus biasa disapa, menjadi backpaker adalah hidupnya, napas yang setiap hari dihelanya.

Perjalanan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan laki-laki kelahiran Lumajang, Jawa Timur 34 tahun silam ini. Hidup, baginya, adalah sebuah perjalanan yang pelakunya tidak tahu kapan semua itu akan selesai. Ribuan kilometer jarak telah dijejakinya. Banyak negara telah dikunjunginya, tapi ia belum tahu kapan akan berhenti.

Ditemui di sela peluncuran buku di "Titik Nol" versi bahasa Inggris beberapa waktu lalu, Agus, demikian ia sering disapa, mengatakan ia sedang merencanakan untuk sebuah perjalanan ke Myanmar. Meski menurutnya, perjalanan ke Myanmar kali ini adalah untuk 'berhenti'.

"Saya mungkin sebulan di sana. Tiba-tiba saja ingin ke sana, mungkin untuk tidak melakukan apa-apa. Meski untuk itu saya harus rela melepaskan banyak hal," ujarnya.

Sudah beberapa bulan ini ia berada di tanah air. Selain menyelesaikan bukunya "Ground Zero" Agus juga sedang menyiapkan proyek besarnya, menulis buku tentang bumi Nusantara yang menurutnya baru terkerjakan kurang dari 10 persen.

"Itu menjadi mimpi besar saya, karena selama ini buku tentang Indonesia justru ditulis oleh orang asing," ujarnya sambil menambahkan ia merasa malu banyak tempat di tanah air yang justru belum dikunjunginya.

Untuk buku ini, ia baru mengunjungi Papua yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini. Satu daerah, ujarnya, yang jika kita berjalan beberapa ratus langkah saja sudah menjadi wilayah negara lain.

Dalam melakukan perjalanan, Agus memang selalu memilih tempat yang tak biasa. Tempat-tempat terpencil yang nyaris tak terambah manusia, justru menjadi favorit lelaki yang sejak kecil bermimpi untuk menjad pengelana dunia ini. Demi mimpinya itu, Agus bahkan rela melepas tawaran beasiswa untuk melanjutkan studi S2 setelah menamatkan pendidikan dengan prestasi memuaskan di salah satu perguruan tinggi terbaik di Cina.

Ia memilih mewujudkan mimpinya, keliling dunia dengan melakukan perjalanan tanpa jeda melalui jalur darat melintasi daerah-daerah terpencil di Asia Selatan dan Asia Tengah. Selama hampir tiga tahun ia menghabiskan waktu bersama orang-orang 'asing' yang disebutnya selalu menawarkan keramahan dengan cara yang berbeda.

Perjalanannya dimulai dari Stasiun Kereta Api Beijing, Cina pada akhir Juli 2005. Dari negeri tirai bambu itu ia naik ke atap dunia Tibet, menyeberang ke Nepal, menyelami kearifan India, kemudian menembus ke barat masuk ke Pakistan, Afghanistan, Iran untuk kemudian berputar lagi ke Asia Tengah, diawali Tajikistan, kemudian Kyrgyzstan, Kazakhstan, hingga Uzbekistan dan Turkmenistan.

Namun, Agus mengaku tak pernah menghitung jumlah negara yang telah dikunjunginya.

"Itu bukan esensi yang saya cari. Perjalanan saya adalah untuk menjawab pertanyaan yang muncul di kepala saya," ujarnya.

Itu juga sebabnya, ribuan kilometer ia tempuh dengan berbagai macam alat transportasi darat seperti kereta api, bus, truk, hingga kuda, keledai dan juga berjalan kaki. Agus yang memiliki latar belakang ilmu komputer ini memang menghindari perjalanan udara dan laut.

"Perjalanan udara menghalangi saya menyerap saripati tempat-tempat yang saya kunjungi. Selain itu, uang saya tidak cukup untuk tiap kali naik pesawat," ujarnya sambil terbahak memperlihatkan gigi gingsulnya.

Agus dalam perjalanannya di Afghanistan. (Dok. pribadi)

Uang yang cekak selalu menjadi bekal sekaligus masalah yang dihadapi Agus dalam setiap perjalanannya. Ketika memulai proyek keliling dunianya Pada 2005, ia hanya berbekal 2000 dolar AS hasil tabungannya selama kuliah di Universitas Tshinghua, Beijing, Cina.

Untuk itu ia menghitung dengan cermat setiap pengeluaran, baik untuk makan, transportasi maupun penginapan. Tak jarang Agus menginap di rumah warga yang berbaik hati. Tapi justru dengan cara inilah Agus bisa memberi makna lebih dari perjalanannya.

Ya, dalam setiap perjalanannya Agus memang tak sekadar berkunjung. Tapi ia berusaha menjalin persahabatan dengan penduduk kota yang dikunjunginya. Menyelami budaya setempat, dengan merasakan keseharian masyarakat di tempat-tempat yang ia kunjungi. Untuk itu ia bisa tinggal berbulan-bulan di satu tempat.

Ketika uangnya habis ia akan menetap sementara di suatu tempat, bekerja serabutan guna mengumpulkan uang dan kembali melanjutkan perjalanan ketika uang sudah dirasa cukup. Kesukaannya fotografi menjadi alatnya untuk mencari uang.

Selain menjual foto-fotonya, Agus juga menjual tulisannya tentang tempat-tempat eksotis yang dikunjungi ke beberapa media di Cina, Singapura dan Indonesia. Ia juga pernah bekerja sebagai fotografer penuh waktu di sebuah kantor berita di Kabul, Afghanistan. Dan kisah perjalanan itu terangkum dalam empat buah buku, yang salah satunya adalah "Titik Nol".

Agustinus Wibowo lahir di Lumajang, Jawa Timur, tahun 1981 sebagai anak sulung dari pasangan Chandra Wibowo dan Widyawati. Lulus dari SMU 2 Lumajang ia sempat kuliah di Jurusan Informatika Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS), sebelum akhirnya memutuskan pindah kuliah ke Fakultas Komputer Universitas Tshinghua, Beijing.

Sejak kecil Agus sudah diramal bakal  berkelana ke negeri-negeri jauh. Bahkan saat ditanya tentang cita-citanya, Agus kecil menjawab ingin jadi turis.  Sebuah cita-cita yang mungkin kontras dengan seorang anak yang dibesarkan sebagai anak rumahan. Agus mengaku saat masih kecil, ia lebih senang menghabiskan waktunya di kamar membaca buku. Tapi dari buku-buku yang dibacanya itu, Agus memupuk mimpinya untuk keliling dunia.

”Saya berubah dari seorang kutu buku menjadi seorang musafir yang tahan banting. Perjalanan mengajarkan saya tentang warna-warni hidup, ragam budaya dan manusia. Perjalanan juga membuka mata saya bahwa dunia tak seindah yang kita bayangkan," ujarnya.

Agustinus membagi cerita perjalanannya dalam buku

Perjalanan juga menempanya menjadi seseorang yang yang penuh rasa syukur. Ia belajar untuk tidak mengeluh dan belajar untuk selalu bersyukur atas segala hal diterimanya dan dihadapinya setiap hari.

Semua perubahan bermula pada tahun 2002. Saat  seorang temannya di Tsinghua menantangnya untuk ”backpacking” ke Mongolia. Kebetulan pada saat yang sama, ia terinspirasi oleh seorang teman lainnya, yang pernah keliling Asia Tenggara sendirian selama enam bulan.

Ia takjub mendengar cerita sang kawan bahwa selama perjalanan ia bertahan hidup dan berkomunikasi menggunakan 'bahasa tarzan' karena sama sekali tidak bisa bahasa Inggris, apalagi bahasa negara-negara ASEAN.

”Waktu itu saya begitu terpesona oleh cerita petualangan teman Jepang saya ini. Petualangan yang berani dan penuh tantangan. Saya jadi bertanya sendiri, kapan saya bisa begitu? Maka ketika ada teman yang mengajak saya pergi ke Mongolia saya langsung mengiyakan,” kisahnya.

Sejak saat itu, Agus tak pernah bisa menghentikan langkahnya. Semakin sering ia travelling sebagai backpaker, semakin dalam keingintahuannya tentang hal-hal baru di dunia ini.

"Tidak hanya sebagai penonton, tapi terlibat sepenuhnya dengan seluruh pengalaman perjumpaan dengan masyarakat dan kebudayaannya. Dunia ini tidak seluas daun kelor. Ada banyak kehidupan lain di luar sana dan ada banyak kebajikan yang kita tidak pernah tahu sebelumnya,” jelas Agus yang karena perjalanannya telah menguasai bahasa Hindi, Urdu, Farsi, Rusia, Tajik, Kirghiz, Uzbek, Turki, Armenia, dan Georgia. Ia juga fasih bahasa Inggris, Mandarin, Indonesia dan tentu saja bahasa Jawa.

Namun sebagai pengelana, banyak kisah tak enak juga menjadi temannya. Ia berulangkali ditangkap polisi, dicopet, dirampok atau jatuh sakit dan kelaparan di tengah perjalanan. Tapi semua itu tak menyurutkan langkah Agus. Ia berhasil bangkit dan melewati beberapa 'kematian' yang membuatnya lebih menghargai hidup. Ya itulah kisah Agus sebagai pengelana.


BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI