Suara.com - Data yang dihimpun Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sejak 2005 sampai September 2015 menunjukkan bahwa jumlah kasus HIV di Indonesia mencapai 184.929.
Yang menyedihkan, ibu rumah tangga menjadi salah satu kelompok yang menderita HIV terbanyak.
Tingginya angka ibu rumah tangga yang terkena HIV/AIDS diduga karena perilaku suami yang suka 'jajan'. Akibatnya sang istri mau tak mau menerima 'hadiah' yang memilukan dari suami yakni sebuah virus yang mematikan dan harus ditanggung seumur hidup.
Hal inilah yang dialami perempuan, sebut saja Sinta namanya. Ia 'dihadiahi' kado terburuk dari suaminya sejak 2005 silam.
Meski syok dan sangat terpukul ketika mengetahui tertular HIV dari suami, namun Sinta tak membiarkan dirinya hancur berkeping-keping. Ia terus berjuang keras untuk bangkit agar bisa bertahan hidup, apalagi saat itu sedang mengandung.
Kini Sinta justru aktif mensosialisasikan pentingnya pengobatan antiretroviral (ARV) kepada pengidap HIV AIDS lainnya.
"Saya adalah salah satu perempuan yang terinfeksi HIV AIDS dari suami pada 2005. Pada saat itu saya sedang hamil 4 bulan. Untungnya saya bertemu dengan Prof Samsuridjal Djauzi yang membantu saya menghadapi goncangan usai terdiagnosis HIV," ujar Sinta memulai kisahnya.
Prof Samsu, begitulah biasanya disapa, memang giat menangani masalah HIV/ AIDS di Indonesia memberikan saran kepada Sinta untuk tegar dan menjalani serangkaian pengobatan ARV. Sebagai orang awam ia pun mengikuti sarannya. Bahkan pertemuannya dengan dokter spesialis penyakit dalam dari RS Ciptomangunkusumo itulah yang membuat Sinta kini menjadi pegiat HIV AIDS.
Kini sepeninggal sang suami, Sinta telah menikah kembali dan memiliki tiga anak. Beruntung, ketiga anaknya bebas dari HIV/AIDS.
Ia mengakui bahwa hal ini tak terlepas dari kepatuhannya menjalani serangkaian pengobatan.
"Saya menjalani program ARV sejak anak pertama saya lahir. Itupun harus caesar dan tidak boleh menyusui, karena takut menular ke anak. Tapi sekarang dengan perkembangan di dunia pengobatan saya sudah bisa melahirkan normal dan menyusui eksklusif dengan rutin mengonsumsi obat ARV," ungkap Sinta.
Meski bisa hidup normal seperti orang pada umumnya, masih terbersit di hatinya kesedihan, karena sang ibu belum bisa menerima statusnya sebagai pengidap HIV.
"Ibu saya masih belum bisa menerima kondisi saya. Tapi saya memaklumi. Oleh karena itu ketika tampil sebagai aktivis HIV AIDS saya tidak ingin diri saya terekspos untuk menghormati perasaan ibu saya," imbuh Sinta.
Atas apa yang ia alami, Sinta pun berharap agar para istri atau ibu rumah tangga mewaspadai penularan HIV dari sang suami. Pasalnya, tak semua istri mengetahui pasti apa yang dilakukan suami mereka di luar rumah.
"Saya tak pernah menyangka tertular HIV dari sang suami. Tapi ini pelajaran buat saya agar lebih berhati-hati dan menjaga ketahanan hubungan dengan suami. Jangan sampai suami main dengan penjaja seks," lanjutnya.
Kini Sinta fokus membantu teman-teman penderita HIV lainnya agar tidak mendapatkan diskriminasi di lingkungan kerja, rumah, bahkan saat mendapat layanan kesehatan.
"Saya harap di sisa umur ini bisa bermanfaat untuk orang lain. Bisa mengedukasi lebih banyak orang untuk tidak menjauhi penderita ODHA. Mereka juga manusia yang harus diperlakukan layak," tutupnya.