Suara.com - Masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir pantai tentu sangat akrab dengan buah yang satu ini. Yah, buah yang dihasilkan dari pohon bakau ini memang banyak tumbuh di wilayah tersebut.
Selama ini banyak masyarakat yang membiarkan begitu saja buah bakau berjatuhan hingga membusuk sehingga menjadi sampah. Padahal buah ini bisa dimanfaatkan menjadi pewarna alami.
Nah, salah seorang yang memanfaatkan buah bakau menjadi pewarna batik adalah Cahyadi Adhe Kurniawan.
Lelaki kelahiran Jakarta, 3 Juni 1991 ini berhasil menyulap buah bakau yang membusuk dan menjadi sampah di tepi pantai ini menjadi pewarna alami untuk batik.
Hebatnya lagi berkat inovasi tersebut, Cahyadi bisa membantu mengangkat perekonomian penduduk pesisir di dua desa di Semarang, Jawa Tengah, dengan cara melibatkan warga untuk mengembangkan batik bakau.
"Awalnya saya prihatin melihat banyak buah bakau yang berserakan di pinggir tambak dan tepi pantai tanpa bisa dimanfaatkan menjadi sesuatu yang bernilai. Dari situlah kemudian saya mencari informasi dari masyarakat dan internet tentang pemanfaatan bakau," terangnya kepada Suara.com.
Setelah mendapatkan begitu banyak informasi tentang buah bakau, Cahyadi baru mengetahui bahwa ternyata buah bakau sejak dahulu kala telah dimanfaatkan untuk pewarna dan pengawet jaring ikan milik nelayan.
Riset selama setahun ...
Riset Selama Setahun
Sejak itulah lelaki yang meraih gelar sarjana Ilmu Kelautan di Universitas Diponegoro ini mulai mencoba berbagai jenis buah bakau yang bisa dijadikan sebagai pewarna alami yang baik untuk batik.
"Riset dilakukan selama setahun dengan bimbingan dan arahan dari pengrajin batik Semarang dan dosen jurusan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro. Buah bakau yang saya manfaatkan adalah buah yang jatuh dan membusuk, jadi tinggal mungutin aja," jelasnya.
Pewarna alami yang terbuat dari buah bakau ini, lanjut Cahyadi, menghasilkan warna dengan gradasi coklat. Oleh karena itu, kain batik bakau masih didominasi dengan warna-warna gelap. Bahkan untuk mendapatkan warna yang diinginkan, batik tersebut harus dicelup 10 sampai 15 kali dalam pewarna bakau.
"Dicelup pun tidak langsung celup. Celup sekali, keringkan. Setelah kering, celup lagi, kemudian dijemur. Celup-jemur, celup-jemur, begitu seterusnya hingga memperoleh warna yang diinginkan," terangnya merinci.
Pewarna alami dari buah bakau ini, kata Cahyadi, selain ramah lingkungan juga bisa menjadi alternatif pewarna batik alami yang sudah ada saat ini.
Berkat inovasi yang dilakukannya ini, Cahyadi dapat membantu perekonomian masyarakat pesisir pantai di Semarang. Hingga kini, ia sudah membina dua desa di daerah pesisir Semarang dengan total 12 ibu rumah tangga yang dilibatkan dalam pembuatan batik bakau. Bahkan ia kerap diminta pemerintah daerah yang memiliki kampung pesisir seperti Deli Serdang, Batam, Jambi, Belitung, dan Rembang untuk melatih masyarakat mengolah bakau menjadi pewarna batik.
Tak hanya memanfaatkan bakau untuk menghasilkan produk yang siap jual, Cahyadi bersama masyarakat binaannya juga memiliki program penanaman kembali bakau untuk melestarikan ekosistem bakau.
"Ekosistem mangrove hanya sekitar 15 hektar di Semarang. Empat dalam kondisi baik sedangkan 11 hektar lainnya sudah dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Dengan melakukan penanaman bakau secara rutin kita bisa menyelamatkan 11 hektar itu," tuturnya bersemangat.
Ingin bikin kampung batik bakau ...
Ingin Bikin Kampung Batik Bakau
Cahyadi memang tak mau tanggung-tanggung dalam pengembangan batik bakau. Ia yang mengaku jatuh cinta dengan batik sejak remaja ini punya target ingin terus melebarkan sayap agar batik bakau semakin dikenal tak hanya di Indonesia, tetapi juga luar negeri.
Keseriusannya untuk mewujudkan impian besarnya itu ditunjukkan Cahyadi dengan upaya yang dilakukannya saat ini. Ia berharap ke depannya bisa membuat kampung batik bakau di pesisir Kota Semarang untuk menyatukan desa binaan yang mengembangkan usaha batik bakau.
"Dengan begitu saya juga bisa merangkul dan membina lebih banyak lagi masyarakat pesisir yang merasakan manfaaat dari batik bakau ini. Selain itu, saya juga ingin membentuk satu ekowisata mangrove yang dikelola bersama masyarakat pesisir lainnya dan terintegrasi dengan batik bakau, sehingga batik bakau bisa menjadi ikon di Kota Semarang)," jelasnya panjang lebar.
Berkat keberhasilan, ketekunan dan perjuangannya dalam mengembangkan batik bakau, Cahyadi berhasil meyabet beberapa prestasi, di antaranya Finalis Kehati Award 2014 kategori pemuda dan runner up Hilo Green Leader 2015.
Ketika ditanya bagaimana respon pasar terhadap batik bakau yang dikembangkannya bersama masyarakat pesisir Semarang, Cahyadi menjelaskan bahwa responnya cukup baik karena ini merupakan inovasi yang dinilai masih sangat jarang di Indonesia.
"Saat ini batik bakau sudah tersebar di Jakarta, Semarang, Surabaya, Batam dan kota besar lainnya, Sementara untuk pasar luar negeri batik bakau sudah ada di Jepang, Filipina, Thailand dan Belanda," ungkapnya.
Cinta membuatnya jadi pembatik ...
Cinta Membuatnya Jadi Pembatik
Respon pasar yang sangat baik inilah yang membuat anak kedua dari tiga bersaudara ini semakin bersemangat untuk membesarkan batik bakau yang dikembangkannya.
Lantas, apa yang membuatnya begitu kepincut dengan batik?
Cahyadi menjelaskan bahwa batik tak hanya indah untuk dipakai, tetapi juga bernilai seni tinggi karena memiliki filosofi yang sangat baik pada setiap motifnya. Nah, poin plus inilah yang membuatnya jatuh cinta pada batik.
"Motifnya sangat indah dan khas, serta proses pembuatan yang menggambarkan keuletan dan keterampilan yang sangat tinggi dari si pembuat batik, membuat saya cinta mati terhadap batik Indonesia," ungkapnya seraya menambahkan bahwa kakek buyutnya juga seorang juragan batik.
Saking kepincutnya, Cahyadi sering mengenakan pakaian batik, baik saat kuliah atau aktifitas lain. Meski terkadang ada yang mengolok-oloknya lantaran dianggap aneh karena keranjingan batik, tapi itu tak membuatnya merasa malu. "Saya tidak terlalu pusing memikirkannya. Yang penting apa yang saya lakukan itu baik dan tidak merugikan orang lain," imbuh lelaki yang mengidolakan Waljinah, penyanyi Jawa yang legendaris itu.
Kecintaannya terhadap batik tak hanya ditunjukkan dari seringnya mengenakan pakaian batik, Cahyadi juga belajar membatik bahkan kini boleh dibilang sudah mahir membatik. "Saya kalau sudah menyukai sesuatu harus total, jadi nggak hanya suka batik, tapi juga bisa membatik, karena targetnya memang ingin mengembangkan batik pewarna alam terutama batik bakau di Indonesia," jelasnya yang sempat bercita-cita ingin menjadi dokter itu.
Tak heran bila hari-hari Cahyadi disibukkan dengan dunia batik. Meski demikian, ia mengaku masih memiliki obsesi lain yaitu melanjutkan pendidikan strata dua. "Cita-cita saya dulu ingin jadi dokter sudah saya kubur, karena ketiadaan biaya. Jadi sekarang cita-citanya ingin terus mengembangkan batik bakau dan melanjutkan sekolah S2," jelas penggemar pecel dan tempe ini menutup perbincangan.