Jalan Panjang Miranti Serad Ginanjar Merawat Batik Kudus

Esti Utami Suara.Com
Rabu, 28 Oktober 2015 | 10:49 WIB
Jalan Panjang Miranti Serad Ginanjar Merawat Batik Kudus
Miranti Serad Ginanjar (Kemenperin.go.id)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Sejak masih remaja, Miranti Serad Ginanjar memang sudah mencintai batik. Saat masih duduk di bangku SMP di Semarang Jawa Tengah, Miranti tak hanya suka mengenakan kain batik. Ia juga sudah belajar membatik, meski belum mempelajari batik secara mendalam.

Dan ini berlanjut hingga ia menikah dengan Adang Ginanjar, seorang perwira polisi. Perempuan yang biasa disapa Mira ini tak segan untuk menularkan kesukaannya pada batik dan membatik pada sesama istri polisi yang tergabung dalam Bhayangkari.   

Namun pertemuannya dengan kurator batik asal Jerman bernama Rudolf G. Smend pada 2005 lah yang mengubah jalan ibu satu anak ini. Rudolf yang juga memiliki sebuah galeri di Koln, Jerman 'membuka' hati Mira pada keindahan batik Kudus.

"Saat itu saya baru tahu, betapa tinggi nilai batik Kudus," ujarnya.

Tak hanya motif rumit yang butuh teknik tinggi dalam pengerjaannya, batik Kudus saat itu juga seolah menjadi barang langka. Para kolektor batik di Eropa haus memburunya, dan tak segan merogoh kocek hingga 20.000 dolar AS atau lebih dari Rp200 juta untuk mendapatkan sehelai kain batik Kudus.

Sejak itu Mira, yang sejak muda diajar ayahnya, Suwarno M Serad untuk mencintai batik, terdorong untuk menggali lebih dalam tentang batik Kudus. Secara khusus ia meluangkan waktu untuk mengunjungi galeri batik di sejumlah negara Eropa. Dan ia tak menyangka bagaimana orang-orang luar itu begitu mengagumi batik Kudus.

Dari para kolektor itulah, Miranti juga baru tahu bagaimana sulitnya mendapatkan batik Kudus. Saat itu Kudus yang lebih dikenal sebagai kota kretek hanya menyisakan beberapa perajin batik, yang usianya sudah tak bisa dibilang muda. Salah satunya adalah ibu Niamah yang darinya, Mira banyak mendengar kisah bagaimana roda kerajinan batik Kudus dijalankan di masa lalu.  

Selama lebih dari dua dekade, batik Kudus bisa dikatakan mati suri. Sejak 1980 industri batik Kudus yang banyak ditemukan di Kudus kulon, tepatnya di desa Langgar Dalem cenderung menurun. Perkembangan batik cetak yang jauh lebih murah, membuat konsumen batik Kudus berpaling.

Di sisi lain tumbuhnya industri membuat kaum muda di Kudus, lebih memilih menjadi buruh pabrik karena menjanjikan penghasilan yang lebih pasti. Pekerjaan membatik pun mulai ditinggalkan.

"Tak banyak yang mau berbulan-bulan mengerjakan batik, dengan pembeli yang belum tentu ada. Menjadi buruh pabrik lebih menjanjikan,"  Mira mengisahkan apa yang ditemuinya saat itu.

Miranti bersama buku dan batik koleksinya. (suara.com)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI